Skip to main content

MENJELANG BABAK AKHIR PERSETERUAN MA DAN KY

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pleno pengujian UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Selasa, 27 Juni 2006 pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pada kesempatan itu hadir beberapa pemohon prinsipal (hakim agung) antara lain: Harifin. A. Tumpa, Djoko Sarwoko, Moegihardjo, Abdul Rahman dan Rehngena Purba. Sedangkan pihak terkait langsung, dalam perkara ini KY, menghadirkan M. Thahir Saimima (Wakil Ketua KY), Mustafa Abdullah (Anggota KY) dan H.M Irawadi Joenoes (Anggota KY).

Sidang perkara No. 005/PUU-IV/2006 ini juga menghadirkan pihak terkait tidak langsung yang dihadiri Firmansyah Arifin (KRHN), Danang Widyoko (ICW), Nurholis Hidayat (LBH Jakarta) dan Usmad Hamid (Kontras).

Menurut Djoko Sarwoko, KY terkadang memasuki wilayah terlarang, lingkup teknis penyelesaian perkara yang menjadi wewenang MA dan bahkan beberapa hakim telah direkomendasikan untuk diberhentikan sementara. Lebih lanjut Djoko menyatakan dirinya dan rekan-rekannya tetap berpendapat bahwa obyek pengawasan perilaku hakim tidak termasuk hakim agung. Argumen Djoko, selain karena antara hakim tingkat pertama dan tingkat banding berbeda aturan dan persyaratannya dengan hakim agung, dalam MA terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya didasarkan Pasal 12 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA).

"Alasan lainnya secara teknis persyaratan untuk menjadi dan diangkat menjadi hakim agung lebih berat daripada persyaratan untuk menjadi anggota KY," jelas Djoko.

Hal lain yang disampaikan Djoko adalah keberadaan Pasal 32 ayat (1), (2), (3), (4) UU No. 14 Tahun 1985 yang kemudian diubah dengan UU MA yang menggariskan, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dan di dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Dan terdapat pula Pasal 11 ayat (4) UU KK yang menyatakan, MA melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

"Oleh karena MA melakukan berperan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkup peradilan, artinya tidak ada institusi yang lebih tinggi di dalam melakukan pengawasan selain MA," jelas Djoko.

Menambahi keterangan Djoko, Harifin. A. Tumpa dalam keterangan lisannya menyatakan, KY telah menempatkan diri pada posisi yang sebenarnya yang tidak boleh dilakukan dalam melaksanakan atau mengimplementasikan ketentuan UUD 1945 dan UU. "Malah kami berpendapat dari fakta-fakta yang ada, Komisi Yudisial telah menempatkan diri, baik sebagai di atas Mahkamah Agung, baik sebagai fungsinya sebagai melakukan fungsi peradilannya maupun di dalam melakukan fungsi administratifnya, yang menyangkut mengenai fungsi yudisial Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan," jelas Tumpa.

Salah satu fakta tersebut menurut Tumpa saat dirinya pernah dipanggil KY, karena dirinya pernah memberikan petunjuk eksekusi kepada ketua pengadilan negeri. "Saya jawab bahwa itu adalah fungsi yudisial dan dijamin oleh UU, bahwa ketua pengadilan tinggi itu adalah mempunyai kewajiban untuk menjaga peradilan supaya berjalan sebagaimana mestinya," kata Tumpa.

Menanggapi keterangan lisan para hakim agung tersebut, Wakil Ketua KY M. Thahir Saimima menjelaskan alasan yang mendorong diterbitkannya UU KY yaitu kegagalan sistem yang ada dalam menciptakan pengadilan yang lebih baik. Thahir dalam kesempatan itu juga mengungkapkan ekses yang mengakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan UU KY yaitu perilaku hakim yang tidak tunduk pada undang-undang, rekomendasi KY yang tidak dilaksanakan, dan konspirasi hakim agung dan advokat untuk membubarkan KY.

Untuk hal yang terakhir, Thahir mengungkapkan adanya beberapa orang hakim agung bersama advokat para hakim agung tersebut, membuat rencana untuk membubarkan KY di salah satu hotel di daerah Jakarta Utara pada tanggal 2 Februari 2006. "Dan selanjutnya sebagaimana kita saksikan sekarang adalah pengajuan judicial review oleh 31 orang hakim agung yang saat ini kita saksikan," kata Thahir.

Mengenai adanya komentar bahwa KY tidak memperhatikan kepentingan hakim, Thahir menanggapinya bahwa itu tidak benar. Sebagai contoh Thahir menceritakan, KY telah mengusulkan kepada Presiden dan DPR agar gaji hakim-hakim dinaikkan. Selain itu KY juga mengusulkan agar para hakim diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan strata lebih dari S1.

Menyangkut penembakan salah seorang hakim agama di Sidoarjo, KY juga telah mengutus Irawadi Joenoes untuk bertemu dengan keluarganya dan bertemu dengan Ketua Pengadilan Agama Surabaya serta memberi sumbangan kepada keluarga hakim tersebut.

Court of Conduct
Terkait dengan court of conduct yang menjadi permasalahan interpretasi, Thahir menyampaikan gagasan agar tiga lembaga yang terkait (MA, MK, KY) dapat duduk bersama untuk membahas dan menyusunnya agar terjadi kesepakatan sehingga tidak ada lagi pertengkaran.

Menanggapi hal itu Usman Hamid dari Kontras memberi informasi bahwa saat ini yang yang disebut Bangalore Principle yang sudah disahkan oleh PBB. Dan masih ada sejumlah prinsip-prinsip lain dalam administrasi peradilan yang merupakan aturan-aturan tambahan. "Jadi pertemuan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung jangan hanya mencoba mencari titik-titik temu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan," kata Usman.

Sidang ini berakhir pukul 12.23 WIB. Sidang berikutnya adalah sidang dengan acara pembacaan putusan.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=163

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...