Skip to main content

PERMOHONAN KOMBES. POL. (PURN.) SOFWAT HADI TIDAK DAPAT DITERIMA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Permohonan Kombes. Pol. (Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H. atas pengujian pasal-pasal dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan dengan larangan penggunaan hak berpolitik untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI-Polri dalam pemilihan umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, pagi ini (18/1/2007) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena terganjal legal standing (kedudukan hukum).

Sofwat yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan permohonan pengujian Pasal 145 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, ?Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya?; Pasal 102 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, "Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya"; Pasal 230 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, "Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang"; Pasal 28 angka 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi, "Anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih"; dan Pasal 39 angka 4 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi, "Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis langsung".

Menurut Sofwat, larangan untuk memberikan hak memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap setiap warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial, yaitu sebagai anggota TNI-Polri. Padahal negara wajib memberikan perlakuan yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi terhadap semua anggota warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial sebagaimana teracantum dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif."

Selain itu, Sofwat menganggap bahwa larangan untuk menggunakan hak pilih bagi setiap Anggota TNI-Polri, membuat anggota TNI-Polri tidak memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, karena keikutsertaannya dalam pemilu. Padahal mengikuti pemilu adalah bagian dari tanggung jawab semua warga negara dalam rangka ikut serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Pertimbangan Hukum MK
Menanggapi permohonan yang diajukan Sofwat sebagai pensiunan polisi, terkait dengan legal standing, MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia?yang juga telah merupakan norma yang berlaku secara universal?pensiunan tentara atau polisi tidaklah sama statusnya dengan tentara atau polisi aktif. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan permohonan tersebut, Sofwat tidaklah dapat bertindak seakan-akan anggota Polri aktif.

Sebagai pensiunan (mantan) anggota Polri, Sofwat juga tidak dapat mengatasnamakan anggota Polri yang masih aktif, karena kata "nya" dalam frasa "hak dan/atau kewenangan konstitusional" dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK mempersyaratkan kerugian itu merupakan kerugian yang dialami (diderita)-nya sendiri, bukan kerugian yang diderita oleh pihak lain.

Terkait dengan pengalaman Sofwat di masa lalu yang pernah mengalami sendiri kerugian hak konstitusional akibat berlakunya undang-undang yang diujinya ketika hendak mengajukan diri sebagai bakal calon Anggota DPD Kalimatan Selatan yang harus mengundurkan diri dari Dinas Polri dengan hak pensiun. MK berpendapat, apabila permohonannya dikabulkan, maka tidak akan memulihkan hak konstitusionalnya yang pernah dirugikan. Sebab kualifikasi Sofwat pada saat ini berbeda dengan kualifikasi Pemohon pada saat kerugian hak konstitusional itu terjadi.

Apalagi bila dihubungkan dengan Pasal 145 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, "Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya" dan Pasal 102 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, "Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya".

MK berpendapat, kedua ketentuan tersebut nyatanya bersifat einmalig (berlaku sekali), karena hanya berlaku untuk Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden tahun 2004. Sehingga walaupun kedua ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional Sofwat dan bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap kepentingan konstitusionalnya saat ini.

Oleh karena itu, MK berpendapat, permohonan Sofwat harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan karenanya pokok perkara tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut.

Tanggapan Pemohon
Menanggapi putusan MK itu, Sofwat ketika diminta komentarnya terkait dengan dirinya yang diputuskan tidak memiliki legal standing, menyatakan akan mencoba mencari anggota TNI-Polri yang masih aktif untuk menjadi pemohon agar dinyatakan memiliki legal standing. "Mungkin akan sulit, karena anggota TNI-Polri yang masih aktif harus meminta izin terlebih dahulu kepada atasannya," ujar Sofwat seusai sidang pembacaan putusan.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=269

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...