Skip to main content

PERSYARATAN MENJADI PIMPINAN KPK TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Pasal 29 huruf d UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang memuat syarat untuk menjadi Pimpinan KPK harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan”, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara 19/PUU-V/2007 yang diajukan Ravavi Wilson, Selasa (13/11), di Gedung MK.


Ravavi yang menjabat sebagai Ketua Umum Badan Penyelamat Kekayaan Negara (BPKN), ketika mengikuti seleksi penerimaan calon pimpinan KPK pada Juli 2007 ditolak oleh Panitia Seleksi Penerimaan Calon Pimpinan KPK dengan alasan tidak memenuhi persyaratan pasal tersebut. Karenanya, Ravavi beranggapan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan.


MK dalam pertimbangan hukum putusan menjelaskan bahwa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menduduki suatu jabatan publik atau pekerjaan tertentu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia ataupun hak konstitusional warga negara. Apalagi bila persyaratan tersebut ditujukan pada suatu jabatan atau pekerjaan yang karena sifatnya memang menuntut keahlian dan/atau keterampilan tertentu. Selanjutnya, menurut MK, yang dilarang adalah membuat persyaratan yang bersifat diskriminatif yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tuntutan kebutuhan pengisian suatu jabatan atau pekerjaan.


Terkait dengan kekhususan jabatan pimpinan KPK, MK menjelaskan bahwa hal tersebut dilatarbelakangi sifat tindak pidana korupsi yang sangat luar biasa sehingga pembentuk undang-undang pun menyadari dan mengakui bahwa institusi-institusi yang telah ada (sebelum dibentuknya KPK) belum optimal dalam melaksanakan fungsinya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memandang perlu membentuk suatu lembaga tersendiri, yaitu KPK, yang diberi kewenangan besar dan tugas-tugas yang sangat luas dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.


Dengan mempertimbangkan luasnya wewenang dan tugas KPK tersebut, maka syarat keahlian dan/atau keterampilan serta profesionalitas jelas merupakan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak diberi wewenang dan tugas itu. Sehingga, jika kemudian pembentuk undang-undang menetapkan persyaratan yang cukup berat untuk mengisi jabatan Pimpinan KPK, maka persyaratan tersebut merupakan persyaratan yang dapat diterima oleh penalaran yang wajar.


Lebih lanjut MK mengungkapkan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf d UU KPK yang mempersyaratkan bahwa seorang calon Pimpinan KPK haruslah “berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan” merupakan tuntutan kebutuhan sesuai dengan sifat kelembagaan KPK sebagaimana tampak dalam wewenang dan tugasnya.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=480

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...