Skip to main content

KONSEPSI IDEAL PENYELENGGARA PEMILU


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu)sangatlah penting dalam sebuah proses peralihan kekuasaan yang normal. Oleh karena itu, merumuskan konsep penyelenggara Pemilu yang ideal sangatlah penting demi terjaminnya proses demokrasi tersebut.

Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai “komisi” tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU 22/2007). Komisi Pemilihan Umum disebutkan sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Dalam Pasal 3 ayat (3) UU 22/2007, dimaktubkan ketentuan bahwa dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Untuk itu, persyaratan menjadi komisoner KPU di antaranya adalah tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan dan tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri.

Aturan yang sama termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003)bahwa syarat menjadi anggota KPU diantaranya tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik dan tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri.

Berbeda dengan kedua aturan tersebut yang secara nyata memang dihasilkan sejak perubahan UUD 1945, terdapat Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang tidak mempersyaratkan hal demikian. Malah pada Pasal 8 UU 3/1999 disebutkan, “Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden.” Pada pasal berikutnya, yaitu Pasal 9 ayat (1), dimaktubkan ketentuan, “Keanggotaan KPU terdiri dari 1 (satu) orang Wakil dari masing-masing Partai Politik peserta Pemilihan Umum dan 5 (lima) orang wakil Pemerintah.”

Saat ini timbul berbagai perdebatan konsepsi ideal penyelenggara Pemilu yang dihubungkan dengan kinerja mauapun efektivitas pelaksanaan tugas sebagaimana dituturkan dalam undang-undang. Untuk itu diperlukan pengkajian mengenai hal tersebut dalam rangka kaitannya dengan pemaknaan atau interpretasi atas konstitusi sebagai titik tolak pengaturan prinsip dasar demokrasi Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...