Skip to main content

Diskriminasi kepada Advokat

Oleh Luthfi Eddyono

Kasdin Simanjuntak, S.H., dkk merupakan sekelompok advokat dari Tim Pembela dan Kedaulatan Advokat yang bermaksud memohon pengujian Pasal 12 ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) terhadap Pasal 28 huruf I UUD 1945. Kasdin, dkk. merasa keberadaan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN sangat merendahkan atau meremehkan profesi advokat karena bersifat diskriminatif.Pasal 12 ayat (2) UU PUPN menyebutkan, ”Dalam hal seperti dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara.”

Kaitan dengan itu, Pasal 12 ayat (1) UU PUPN menyebutkan, ”Instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.”

Pasal 12 ayat (2) UU PUPN tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 huruf I UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif tersebut.”

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 023/PUU-IV/2006 yang berlangsung Jumat (3/11/2007) di Ruang Sidang MK, Yan Ricardo, S.H., salah seorang pemohon prinsipal menjelaskan definisi diskriminasi yaitu merupakan suatu tindakan pembedaan yang dilakukan secara tidak adil. Lebih lanjut Yon mengutip Pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang mendefinisikan diskriminasi merupakan setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Menurut Yon, diskriminasi yang terjadi akibat pemberlakuan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN menyangkut diskriminasi tentang status sosial para pemohon sebagai advokat..Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.S. menyarankan kepada para pemohon untuk memperjelas logika, mengapa hanya hal yang disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) UU PUPN pengacara tidak diberikan kewenangan.

“Apakah ini tersangkut paut dengan kewenangan yang lain, karena ketidakmungkinan untuk itu tidak diberikan memang kepada pengacara, tetapi misal harus langsung kepada panitia itu sendiri,” ungkap Palguna. Karenanya ketua majelis panel Dr. Harjono, S.H., M.C.L meminta para pemohon untuk mengkaji lebih dalam maksud pasal yang diujikan, dikaitkan dengan pasal-pasal lain dalam UU tersebut.

“Mengingat itu bukan hal-hal yang sangat sulit, karena tidak menyangkut hal yang prinsipal dan sebetulnya tidak mengubah permohonan, Anda bisa cepat memperbaiki paling lama 14 hari dan nanti panel akan melaporkan kepada pleno apakah perlu diperiksa oleh panel lagi ataukah langsung diperiksa dalam pleno,” kata Harjono sebelum menutup sidang panel.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...