Skip to main content

Penguatan Partai Politik

Oleh Luthfi Eddyono


Political parties created democracy. Schattscheider yang menyatakan hal itu percaya bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Sejarah juga membuktikan bahwa partai politik merupakan sesuatu yang esensial bagi realisasi pemerintahan yang berdasarkan pilihan mayoritas dengan cara yang demokratis. Partai politik memang memberikan forum bagi warga negara untuk ekspresi politik tersebut dan mengagregasi kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Di sisi lain, keberadaan partai politik merupakan wujud pelaksanaan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri dari negara demokrasi. Keberadaannya menjadi implikasi pengakuan terhadap hak-hak politik seperti hak memilih (the right to vote), hak berorganisasi (the right of association), hak atas kebebasan berbicara (the right of free speech), dan hak persamaan politik (the right to political equality). Karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk terus diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization). Bahkan, oleh Schattscheider, sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam buku Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (Konpress: 2005) di­katakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.

Namun demikian, partai politik kenyataannya juga mendapatkan berbagai tantangan jaman modern yang dapat mengurangi perannya. Kemunduran peran partai politik dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikemukakan oleh Treg A. Julander, diantaranya: perkembangan teknologi (terutama media massa), proliferasi kelompok-kelompok kepentingan, semakin pentingnya peran pendanaan dalam politik, dan teknik pemilihan baru yang lebih menekankan pada personalitas calon dari pada identitas kepartaian.

Indikasi kemunduran peran ini sangat nyata dan lugas diungkapkan Lalu Ranggalawe dalam permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). “Pemohon tidak terlalu berharap untuk dapat dicalonkan melalui partai, sebab bukan rahasia umum lagi bahwa pada umumnya partai-partai saat ini sudah menjadi barang komoditi yang diperjual-belikan dengan nilai harga yang terbilang tinggi untuk ukuran di daerah.”

Lalu Ranggalawe kemudian mengaitkan permohonannya dengan munculnya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang mendapat kemenangan mutlak sebagai Gubernur/Wakil Gubernur. Menurut Lalu, hal ini, “telah membuktikan bahwa rakyat sangat membutuhkan independensi dan mereka tidak percaya lagi pada partai politik yang mengusung calon karena terbukti parpol dalam pengusungan calon sangat syarat dengan transaksi politik yaitu dengan melakukan jual beli kendaraan politik (partai) bagi calon yang akan mengikuti suksesi pilkada.”

Dijelaskan pula oleh Lalu, bahwa hakikat dipilih secara “demokratis” bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan perhitungan suara yang harus demokratis, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon, karenanya masyarakat perlu mendapat akses yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam mengusung pasangan calon/untuk dicalonkan. Dalam bahasanya M. Ali Syafaat, partisipasi dalam demokrasi memang membutuhkan kesamaan kesempatan warga negara untuk mempertanyakan agenda, mengekspresikan keinginan, dan memberikan masukan. Tentunya berarti ikut serta pula dalam kancah politik

Terkait dengan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan pada 23 Juli 2007. Monopoli partai politik terhadap pencalonan pasangan kepala daerah dihempaskan dengan dikabulkannya sebagian permohonan Lalu Ranggalawe yang menyatakan tidak mengikatnya secara hukum beberapa pasal UU Pemda yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam pilkada.

Tak ayal putusan ini merupakan ultimatum bagi partai politik. Reaksi yang direkam berbagai media pun beraneka ragam. Kritikan terhadap putusan ini banyak dikemukakan. Mahkamah Konstitusi dituduh mengurangi peran partai politik, bukannya malah menguatkan kelembagaannya. Berbagai kalangan pun pesimis bila seadainya seorang calon independen terpilih dengan tiada gerbong politik yang jelas, bagaimana ia dapat mengkonsolidasikan dukungan terhadap kekuasaannya. Ditakutkan hal ini akan menciptakan kecenderungan eksekutif yang lemah dan sulit bekerja sama dengan parlemen.

Bila kita perhatikan pertimbangan putusan perkara nomor 5/PUU-V/2007 tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada calon perseorangan (independen) khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam bukan merupakan suatu perbuatan yang harus dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pilkada agar lebih demokratis. Karena itu, mengapa di daerah lain kesempatan pencalonan pasangan kepala daerah hanya diberikan kepada partai politik atau gabungan partai politik?

Pelanggaran hak konstitusinal warga negara, menurut Mahkamah Konstusi, terjadi apabila dualisme yang tecipta dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terus berlangsung. Karenanya Mahkamah Konstusi berpendapat bahwa pencalonan pasangan kepala daerah secara perseorangan di luar Nanggroe Aceh Darussalam haruslah dibuka agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Dengan kata lain, pembentuk undang-undanglah yang memilih kondisi ini dan senyatanya pencalonan secara perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Partai politik pun sebenarnya tidak perlu khawatir akan bersaing ketat dengan calon perseorangan apabila mampu bersikap profesional dan menjaga kepercayaan konsituennya. Partai politik punya kelebihan yaitu basis yang jelas, sehingga kalau partai berhasil dalam proses kaderisasi, maka gerakan partai akan langsung dibasis-basis konstituennya. Dengan demikian, dibolehkannya calon perseorangan ikut serta dalam pencalonan pasangan kepala daerah merupakan tantangan khusus bagi partai untuk menyiapkan kader yang lebih berkualitas dan populis. Lebih jauh lagi untuk dapat mereformasi diri hingga dapat lebih memahami dan menjawab keinginan rakyat. Dukungan yang sedikit bila calon perseorangan berkuasa pun tidak perlu ditakutkan, lambat laun proses politik akan menemukan jalan keluarnya.

Rakyat masih berharap agar partai politik dapat menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya yang bagi Miriam Budiardjo meliputi sarana komunikasi politik, sosialisasi politik (political socialization), pengatur konflik (conflict management) dan akhirnya menjadi sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai politik diharapkan mampu berkomunikasi dengan rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan penyampaian program-program politik.

Partai politik harus dapat menerima aspirasi dan mengelolanya menjadi pendapat umum untuk kemudian disampaikan dalam bentuk program, serta diperjuangkan menjadi kebijakan pemerintah (broker of idea and parties as policy instrument). Dengan fungsi ini, partai politik diharapkan dapat pula menerjemahkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan individual dan kelompok-kelompok tertentu (interest aggregation) menjadi program (interest articulation) yang akan menjadi dasar legislasi dan segera diterapkan oleh pemerintah. Dengan ini diharapkan people trust terjalin dan dapat menguatkan sistem politik Indonesia.


Majalah Legislatif
Edisi Agustus 2007

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...