Skip to main content

Tembusan Surat Perintah Penangkapan Harus Diberikan Segera dan Tidak Lebih Dari 7 (Tujuh) Hari


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”. Hal demikian di sampaikan dalam sidang terbuka untuk umum pada Kamis, 30/1/2014.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan, Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.” adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena tidak ada kepastian tentang pemaknaan kata “segera” pada norma a quo, sehingga penyidik memaknai dan mengimplementasikan jangka waktu penyampaian tembusan surat perintah penangkapan tersebut secara berbeda. Hal ini menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum yang menimbulkan ketidaksamaan perlakuan di hadapan hukum dan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara.

Menurut MK, frasa “segera” pada pasal a quo dapat diartikan  bahwa dalam hukum acara pidana, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka, pemberitahuan kepada keluarga tersangka harus disampaikan dalam waktu yang singkat agar tersangka dapat segera mendapatkan hak-aknya. Apabila pemberitahuan tersebut tidak segera disampaikan maka berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak tersangka, karena keberadaan dan status hukum dari yang bersangkutan tidak segera diketahui oleh keluarga. Bagi Mahkamah, tidak adanya rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud dengan kata “segera” dalam pasal a quo dapat menyebabkan pihak penyidik menafsirkan berbeda untuk setiap kasus yang ditangani. Hal seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan oleh pihak penyidik.

Bahwa menurut hukum acara pidana segala upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dikontrol melalui lembaga praperadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam ketentuan tersebut, tersangka memiliki hak untuk mengajukan praperadilan terhadap pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh pihak penyidik dalam proses penyidikan, yang di dalamnya termasuk penangkapan dan penahanan. Apabila ketentuan yang dipermasalahkan tidak memiliki rumusan yang jelas maka hal tersebut menjadi permasalahan norma, bukan lagi hanya permasalahan pelanggaran dalam implementasi norma. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil karena dalam pelaksanaan menimbulkan penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda oleh para penegak hukum selanjutnya dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka, sehingga menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum, namun demikian, apabila ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka justru dapat menghilangkan kewajiban penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan tersebut, sehingga justru menimbulkan pelanggaran terhadap asas perlindungan hukum dan kepastian hukum. Oleh karena itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu menafsirkan mengenai frasa “segera” pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP”, jelas MK dalam pertimbangan putusannya.

Karenanya menurut MK, dengan mempertimbangkan perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak diterbitkan surat penangkapan tersebut. Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan pula perbedaan jarak, cakupan dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia, terdapat kemungkinan dibutuhkan jangka waktu yang lebih dari 3 x 24 jam untuk penyampaian salinan surat perintah penangkapan kepada para keluarga tersangka yang berada di wilayah administratif yang berbeda, atau berada di kota/kabupaten atau provinsi yang berbeda dengan tempat tersangka tersebut ditangkap dan/atau ditahan, oleh karena itu dibutuhkan penafsiran yang dapat diterapkan secara umum untuk mengakomodasi perbedaan kondisi tersebut dengan tetap mengutamakan kepastian hukum. Dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu yang patut, menurut MK, untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan tersebut. Dengan demikian, frasa “segera” dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”. (Luthfiwe)

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...