Skip to main content

Mr. Sartono: Aktivis Pergerakan, Advokat, Politisi, dan seorang Negarawan


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono



Kita harus memberi jaminan pada rakyat dalam anggaran dasar, walaupun tidak bisa dijalankan dalam masa perang, karena tergantung pada satu overgangsbepaling, asal dalam anggaran dasar diwujudkan, walaupun tidak sempuma.”

Mr. Sartono dalam Rapat BPUPK Indonesia, 11 Juli 1945


Dalam Sidang Kedua Rapat Panitia Hukum Dasar pada tanggal 11 Juli 1945 bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Kementerian Luar Negeri) yang sedang membicarakan Rancangan Undang-undang Dasar, terkemuka usulan dari Ir. Soekarno agar Rapat membicarakan konsep unitarisme, federalisme atau bondstaat untuk diterapkan di Republik nantinya. Setelahnya akan dibentuk Panitia Kecil lagi yang diberi tugas membuat rancangan hukum dasar.

Sartono, salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai--BPUPK) Indonesia, kemudian meminta agar beberapa hal yang pokok sebaiknya dibicarakan dahulu di Rapat saat itu, tidak hanya terkait bentuk negara unitarisme, federalisme atau bondstaat, akan tetapi pokok-pokok lain Republik Indonesia. Sesudah hal-hal pokok itu disepakati, menurut Sartono, maka Panitia Kecil dapat bekerja bersandar atas kesepakatan tersebut.

Selengkapnya, Sartono menyatakan, “Saya pandang perlu, kalau sebelum dibentuk Panitia Kecil, lebih dulu beberapa pokok, walaupun sudah sebagian besar disetujui, juga dibicarakan di sini, karena tidak semua anggota mengeluarkan pikirannya dalam rapat besar dan saya mengetahui bahwa banyak usul yang disampaikan Zimukyoku mengandung banyak hal-hal  yang tidak dikemukakan dalam rapat besar, oleh karena itu menurut saya untuk tertibnya perjalanan pekerjaan Panitia perlu sekali, bukan saja urusan unitarisme atau federalisme tetapi juga isinya pokok-pokok daripada Republik Indonesia itu. Sesudah pokok itu ditetapkan, barulah Panitia kecil bersandar atas keputusan-keputusan itu mulai bekerja.”

Pandangan Sartono tersebut kemudian dijadikan dasar bagaimana Rapat Panitia Hukum Dasar selanjutnya bekerja dan Rapat Panitia kemudian membahas hal-hal yang dasar dan pokok Republik Indonesia untuk kemudian menjadi patokan bagi Panitia Kecil dalam merumuskan bakal konstitusi Indonesia. Sartono sendiri mengusulkan beberapa hal yang perlu dibahas. “Semua dasar: unitarisme atau tidak; badan perwakilan atau badan yang bermacam lain yang akan menjadi pusat tinggi dalam Negara Indonesia Merdeka; dasamya kerakyatan dalam politik saja atau dalam hal ekonomi, yaitu keadilan sosial; tentang kepala negara satukah atau dibentuk satu direktorium terdiri beberapa orang. Saya kira itu yang penting,” ujarnya.

Raden Mas Sartono, seorang Meester in de rechten lulusan Universitas Leiden (1922-1926), memang orang yang berpengalaman di bidang hukum. Lahir di Wonogiri 5 Agustus 1900, Mr. Sartono pernah bekerja sebagai Ambtenaar ter beschikking Landraad Salatiga satu bulan lamanya pada tahun 1922.

Mr. Sartono juga sempat membuka praktek pengacara di Bandung. Bersama-sama Mr. Sastromoeljono dan Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo, dia merupakan pembela perkara Ir. Soekarno.Pada tahun 1926, dia membuka kantor advokat Jakarta dan Bogor. Pada tahun 1937, Mr. Sartono telah menjadi pengacara pada Mahkamah Agung Hindia Belanda. Kemudian pada tahun Januari 1943, dia menjadi anggota Panitia Adat dan Tata Negara di Jakarta dan Kepala Bagian Organisasi Poetera, Giin Tyuuoo Sangi-In Jakarta.

Lahir di Wonogiri pada 5 Agustus 1900, Mr. Sartono bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) diploma 1915, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Rechts School diploma 1922, dan Universitas Leiden Bagian Hukum, diploma 1926. Sartono aktif dalam berbagai perkumpulan. Di negeri Belanda (1922- 1925) dia merupakan pengurus "Perhimpoenan Indonesia" dan di Indonesia 1927-1930 menjadi Ketua Muda Pengurus Besar Partai Nasional Indonesia.

Sartono juga aktif pada Persatuan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dengan menjadi Sekretaris Majelis Pertimbangan (1928-1930). Pada tahun 1931, Mr. Sartono turut mendirikan Partindo (Partai Indonesia) dan menjadi Ketua. Setelah Ir. Soekarno keluar dari penjara dan menjadi ketua Partindo, beliau menjadi ketua mudanya (1931-1936).

Sartono juga berkegiatan pada Gerakan Koperasi Karet di Leuwilliang, Jawa Barat (1934-1940), sebuah gerakan yang berhasil mendirikan 18 Koperasi Karet dan 12 Pabrik Karet. Sewaktu Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) berdiri  pada tahun 1937-1942, Sartono menjadi Ketua Muda Pengurus Besar. Pada tahun 1941, Mr. Sartono menjadi ketua pengurus harian Majelis Rakyat Indonesia.

Setelah menjadi anggota BPUPK Indonesia, Mr. Sartono kemudian menjadi menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia (1945). Karirnya kemudian mapan menjadi seorang politisi. Secara berturut-turut, Mr. Sartono dipilih sebagai Ketua DPR-RIS, DPRS-RI, dan DPR-RI (1950-1959).

Dalam Kabinet RI pertama, Mr. Sartono selain diangkat menjadi Menteri Negara dan dia juga menjadi Penasehat Umum dalam Delegasi RI pada Perundingan Roem-Royen. Sesudah tercapai persetujuan Roem-Royen, dia menjadi penasihat umum delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar. Dalam Badan Pekerja Komite Nasioal Indonesia Pusat, Mr. Sartono menjadi Ketua Anquet Komisi tentang Pemogokan Delanggu.

Bulan Desember 1948, Mr. Sartono menjabat Ketua Misi Jasa-jasa baik RI ke Negara Indonesia Timur. Semasa RIS menjabat sebagai Ketua DPRS. Tahun 1956 menjadi Ketua DPRS, kemudian Pembantu Sementara Jabatan Presiden RI. Tanggal 8 Maret 1962 sebagai Wakil Ketua DPA, dan tanggal 22 Mei 1962 menjadi Anggota Panitia Negara untuk Peninjauan kembali Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum MPR/DPR/DPRD Tingkat I dan Tingkat II.

Begitu banyak peran Mr. Sartono bagi republik yang juga menunjukkan kenegarawanannya, sehingga pada tahun 1961 beliau mendapat Bintang Mahaputra Adiprana dan Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan. Mr. Sartono meninggal di Jakarta, 15 Oktober 1968 pada umur 68 tahun. 

Daftar Bacaan:
[http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3665-advokat-negarawan] diakses 13 Juni 2014.
[http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2745/Sartono-Raden-Mas] diakses 13 Juni 2014.
2007. Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu (Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi). Grafindo Media Pratama: Jakarta.
1998. (Penyunting: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta.

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014. 

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...