Skip to main content

Raden Abdoelrahim Pratalykrama: Mewacanakan Syarat Presiden “Orang Indonesia yang Aseli, Berumur Sedikit-dikitnya 40 Tahun dan Beragama Islam”


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia yang bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang merupakan Gedung Kementerian Luar Negeri), berkembang pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar yang merupakan rapat lanjutan.

Khusus terkait pasal tentang syarat presiden, anggota BPUPK Raden Abdoelrahim Pratalykrama, yang juga Wakil Residen Kediri memberi komentar agar persyaratan menjadi presiden hendaklah orang Indonesia asli yang tidak kurang dari 40 tahun, dan beragama Islam. Persyaratan demikian diusulkannya agar dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang lain.

Selengkapnya Pratalykrama menyatakan, “Paduka Tuan Ketua yang terhormat! Lebih dahulu saya ucapkan pemyataan penghargaan yang sebesar-besarnya dan terima kasih kepada Panitia untuk menulis Undang-undang Dasar ini. Tuan Ketua, di antara rakyat, di mana termasuk juga saya, ada yang menginginkan, bahwa Kepala Negara kita yang akan dipilih jadi Kepala Negara Republik Indonesia itu, hendaknyalah orang Indonesia aseli yang umumya tidak kurang dari 40 tahun dan beragama Islam. Akan tetapi yang demikian itu tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar dan karena itu saya majukan pertanyaan: apakah di luar Undang-undang Dasar akan diadakan Undang-undang yang menyatakan kehendak yang saya majukan tadi itu atau tidak? Jika tidak, saya mohon supaya itu dimasukkan juga, entah di dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang lain, ialah ketentuan bahwa Kepala Negara atau Presideh Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang aseli, berumur sedikit-dikitnya 40 tahun dan beragama Islam. Sekianlah, terima kasih.”

Pernyataan Pratalykrama tersebut langsung ditanggapi oleh Soepomo sebagai Panitia Perancang Undang-Undang Dasar bahwa Panitia memang memutuskan, tidak perlu membatasi umur presiden dalam Undang-Undang Dasar dengan mempercayakannya kepada kebijaksanaan rakyat. “Paduka Tuan Ketua, pertama tentang umur 40 tahun, hal ini juga telah dipikirkan oleh Panitia dengan sedalam-dalamnya. Maka dalam beberapa Undang-undang Dasar dari hukum negara lain ada aturan demikian, seperti umpamanya Undang-undang Dasar di Filipina, bahwa Kepala Negara atau Presiden harus berumur 45 tahun. Akan tetapi Panitia memutuskan tidak perlu membatasi umumya dalam Undang-undang Dasar itu. Oleh karena jika umumya dibatasi seperti diusulkan, maka umpamanya orang yang berumur 38 tahun dan sangat bijaksana, sangat pandai dan sangat luhur budinya, sangat disukai oleh seluruh rakyat, hanya oleh karena kurang 2 atau 1 tahun, tidak bisa dipilih menjadi Kepala Negara”, ujar Soepomo.

Lebih lanjut Soepomo menyatakan, “Hal yang begitu bukan hal pokok. Ketentuan itu tidak perlu dimuat dan hanya akan membatasi serta menjadi pengikat yang tidak perlu dalam penyelenggaraan negara. Sudah tentu dalam pern i lib an itu kita hams percayakepadakebijaksanaanrakyatjanganlah kita curiga sekali terhadap kepada badan kita sendiri, haruslah ada kepercayaan kepada diri kita sendiri. Apakah mungkin suatu rakyat akan memilih sebagai Presiden orang berumur 10 tahun, sudah tentu tidak; sudah tentu kalau begitu kita tidak bisa merdeka. Oleh karena. itu, Panitia tetap memegang teguh usulnya dalam rancangan ini.”

Terkait dengan persyaratan agama Islam yang diusulkan Pratalykrama, Soepemo mengomentarinya dengan menghubungkan Djakarta Charter dengan kompromi yang sudah disepakati, serta jaminan bahwa 95% orang Indonesia beragama islam akan memberikan pengaruh yang besar untuk seorang presiden yang beragama islam. Selengkapnya, Soepomo menjelaskan, “Tentang hal agama Presiden. Tadi sudah berulang-ulang diuraikan juga dan dipegang teguh oleh Paduka Tuan Ketua sendiri, bahwa kita hams menghormati Djakarta Charter itu. Apakah itu tidak bersifat suatu kompromis, artinya baik golongan kebangsaan maupun golongan Islam memberi. Itu sudah satu kompromis. Sekarang ada permintaan lagi, apakah kita akan menghormati kompromis itu atau tidak. Sebab nanti diminta supaya Menteri mesti begitu, itu mesti begitu, di mana batasnya? Marilah kita menghormati apa yang telah dijanjikan oleh kedua belah pihak. Kita harus percaya, harus memegang teguh apa yang sudah kita janjikan, dan lagi 95% dari orang Indonesia beragama Islam 95% itu sudah jaminan yang besar yang dalam lapangan apa pun tentu akan memberi pengaruh yang sebesar-besarnya. Saya sendiri percaya sepenuh-penuhnya kepada kekuatan yang begitu besar. Tetapi di luar itu juga sudah ada perjanjian Charter. Itu tadi bagaimana? Oleh karena itu, Panitia memohon dengan hormat ingatlah kepada perjanjian; kalau tidak, maka pembicaraan kita yang sudah 2-3 hari lamanya ini tidak ada gunanya.”

Selanjutnya, Ketua Rapat, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat kemudian meminta agar mengenai “Indonesia asli” diterangkan. Soepomo menerangkan, “Jadi, Presiden harus orang Indonesia asli? Panitia memikirkan juga hal itu. Panitia juga percaya kepada kebijaksanaan rakyat. Jadi, tidak perlu.” Atas penjelasan Soepomo tersebut, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat bertanya kepada Pratalykrama, “sudah menerima Tuan Pratalykrama?”. Pratalykrama menjawab, “sudah mendengarkan.” Berakhirlah perdebatan atas pertanyaan dan permintaan Pratalykrama dalam sidang BPUPK tersebut.

Pada akhirnya, Pasal 6 ayat (1) sebelum perubahan UUD 1945 memang menyebutkan, “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Setelah perubahan UUD 1945, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 kemudian menjadi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”, sedangkan ayat (2) menyebutkan, “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” 

Menurut Panduan Pemasyarakatan yang dicantumkan dalam laman resmi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu www.mpr.go.id, perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman karenanya persyaratan yang ada sebelumnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“orang Indonesia asli”) diubah agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Menurut Panduan tersebut, rumusan itu konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.

Pertanyaan dan pernyataan anggota BPUPK Raden Abdoelrahim Pratalykrama dalam Rapat BPUPK sangat mewarnai perdebatan khususnya tentang persyaratan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Kiprah  Raden Abdoelrahim Pratalykrama seorang tokoh BPUPK yang lahir di Sumenep pada 10 Juli 1898 memang patut diberi penghargaan. Pratalykrama yang bersekolah di Bestuurschool 1929 pernah menjadi Asisten Wedono Pesongsongan, Wedono Sapudi, dan Bupati Probolinggo akhirnya memang mendapat Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 12 Agustus 1992 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048/TK/Tahun 1992. 

Daftar Bacaan:
  1. 1998. (Penyunting: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta.
  2. [https://www.mpr.go.id/pages/produk-mpr/panduan-pemasyarakatan/bab-ii-uud-nri-tahun-1945/d-hasil-perubahan--naskah-asli-uud-1945-1] diakses 18 Agustus 2014.

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...