Skip to main content

AMNESTI TIDAK DAPAT DIBERIKAN TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang diajukan oleh Asmara Nababan, dkk melalui Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran yang berisikan advokat dan pembela umum dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam, hari ini Rabu 12 April 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Diwakili oleh kuasa hukumnya, Asmara Nababan, dkk menjelaskan bahwa UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR), dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR).

Selain kedua pasal tersebut, para Pemohon yang terdiri dari para aktivis, organisasi yang dibentuk oleh para korban pelanggaran HAM 1965, korban kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan korban yang merupakan bekas tahanan politik tanpa proses persidangan dalam peristiwa G-30/S juga menggugat Pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan, amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 sebagai dasar negara juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia. "Amnesti tidak dapat diberikan terhadap pelanggaran HAM yang berat," kata Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M kuasa hukum para Pemohon dari LBH Jakarta.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM dalam sidang pleno yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan ini memberi saran agar permohonan tersebut memberikan penjelasan kerugian konstitusional para Pemohon. Selain itu Natabaya meminta agar ada penjelasan detail mengenai korban pelanggaran HAM yang mengajukan permohonan perkara 006/OUU-IV/2006 ini.

Senada dengan itu Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL meminta para Pemohon agar menjelaskan kualifikasi masing-masing Pemohon dan meminta agar ada penjelasan hak konstitusional apa saja yang dilanggar dengan pemberlakuan UU ini. ?Hak konstitusional adalah hak yang ada di UUD 1945,? jelas Harjono. Dalam kesempatan itu Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. meminta agar disusun daftar alat bukti serta daftar nama ahli dan saksi yang akan diajukan pemohon.

Mendengar nasehat dari majelis hakim, para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya meminta waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=114

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...