Skip to main content

KY MERUPAKAN "SUPPORTING ELEMENT" MA DAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pleno pengujian UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Rabu, 10 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pada sidang ini selain para kuasa hukum 31 Hakim Agung, hadir pula sebagian pemohon prinsipal yaitu: Harifin A. Tumpa, S.H., M.H., Atja Sondjaja, dan Muhammad Taufik. Sedangkan dari pihak terkait (KY), selain para kuasa hukumnya, turut hadir M. Thahir Saimima, Prof. Dr. Mustafa Abdullah dan Prof. Chatamah Rasyid. Sidang ini juga dihadiri para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP MPR diantaranya, Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Soetjipno, Drs. Baharudin Aritonang, M.Hum., Patrialis Akbar, S.H., dan Soetjipto, S.H. Sedangkan Pihak DPR diwakili oleh Drs. Lukman Hakim Syaefudin dan Pataniary Siahaan serta pihak pemerintah dihadiri Direktur Litigasi Departemen Hukum & HAM, Qomarudin S.H., M.H.

Pada kesempatan ini Mayjen. Pol. (Purn) Drs. Soetjipno menyatakan, KY diperlukan dalam rangka untuk menjamin adanya check and balances dalam keseluruhan proses penyelenggaraan ketatanegaraan Republik Indonesia. KY merupakan supporting element jajaran MA dan MK dengan tujuan untuk menjamin adanya obyektivitas dari fungsi pengawasan atau fungsi kontrol. KY dalam rangka check and balances mengontrol perilaku para hakim dalam seluruh jajaran MA dan MK, yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif.

Menanggapi pertanyaan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. terkait dengan judicial corruption dan code of conduct, Patrialis Akbar, S.H. menyatakan, Panitia Ad Hoc I telah mencoba memilah kedua hal tersebut meskipun pada waktu itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini, menurut Patrialis, KPK-lah yang akan mengusut korupsi, sedangkan KY yang akan mengusut tentang masalah perilaku. "Jadi memang dibedakan antara judicial corruption dengan code of conduct," ujar mantan anggota PAH I BP MPR ini.

Drs. Lukman Hakim Syaefudin dalam jawabannya atas pertanyaan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., mengenai pengaturan pengawasan perilaku hakim menjelaskan, Pasal 22 ayat (8) UU KY menyatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial. Menurut Lukman, ayat (1) tersebut berbicara mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 UU KY. Artinya menurut Lukman Hakim, Pasal 22 ayat (8) UU KY memberikan kewenangan kepada KY untuk mengatur ketentuan lebih lanjut menyangkut tata cara pelaksanaan tugas, termasuk dalam konteks pengawasannya terhadap perilaku hakim. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=141

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...