Skip to main content

PASAL 35 HURUF D UU PPTKI BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 35 huruf d UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKI) bertentangan dengan UUD 1945, dengan demikian MK menyatakan pula UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan UU PPTKI hari ini Selasa (28/3) yang dimulai jam 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, MK menyatakan Yayasan Indonesia Manpower Watch tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam Perkara Nomor 020/PUU-III/2005, sehingga permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Sedangkan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik (AJASPAC), Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja (HIMSATAKI) (perkara No. 019/PUU-III/2005) permohonannya dikabulkan untuk sebagian. Dalam putusan perkara ini dua orang hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions).

Pasal 35 huruf d UU PPTKI berbunyi, ":Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan ... d) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat."

Menurut MK, seorang yang telah dewasa memerlukan pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya tanpa membedakan apakah seseorang tersebut lulusan SLTP atau bukan. Apabila tidak dapat mendapatkan pekerjaan dapatlah dipastikan bahwa seseorang tersebut akan tidak dapat secara sempurna memenuhi kebutuhan hidupnya dan oleh karenanya akan terganggu hak atas mempertahankan hidup dan kehidupannya, lebih-lebih hak untuk hidup sejahtera. Sehingga hal yang perlu untuk dipertimbangkan oleh MK adalah apakah pembatasan tingkat pendidikan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI tersebut perlu karena didasarkan pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Terkait dengan itu, MK berpendapat bahwa batasan tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan hal tersebut. Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI justru tidak mempunyai dasar alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan tidak bertentangan dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Dengan demikian, pembatasan tingkat pendidikan SLTP yang terdapat dalam pasal UU PPTKI bertentangan dengan hak atas pekerjaan seseorang yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan berdasarkan Pasal 28A, serta hak untuk hidup sejahtera berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Lagi pula, menurut MK, syarat pendidikan dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk wajib membiayai pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, yang seandainya telah dipenuhi oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia sudah mencapai tingkat pendidikan minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M

Menurut Natabaya, Pasal 35 huruf d UU PPTKI sama sekali tidak mengandung sifat diskriminatif, seperti yang dimaksud oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, dalil Pemohon yang mengatakan Pasal 35 huruf d UU PPTKI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan sehingga Putusan MK sepanjang mengenai Pasal 35 huruf d UU PPTKI seharusnya juga dinyatakan ditolak.

Natabaya juga menegaskan bahwa kepentingan Pemohon tidak ada kaitannya dengan hak untuk bekerja (right to work) bagi Pemohon, lebih-lebih juga pengertian-pengertian dari ?hak untuk bekerja? (right to work) bukanlah merupakan suatu hak sipil (civil right) yang melekat pada pribadi tetapi hak tersebut merupakan suatu hak ekonomi (economic right).

Dissenting Opinion Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H.

Menurut Roestandi, persyaratan lulus pendidikan SLTP atau sederajat yang tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi yang terkandung Pasal 35 huruf d UU PPTKI. Roestandi menyatakan, kalaupun ada perbedaan perlakuan terhadap lulusan SLTP dan bukan lulusan SLTP, hal itu justru didasarkan pada asas keadilan yang memberikan ?perlakuan yang berbeda terhadap hal yang memang berbeda?.

Terkait dengan itu, Roestandi mengatakan, persyaratan lulusan SLTP tersebut akan memotivasi warga masyarakat, khususnya mereka yang berminat untuk menjadi calon tenaga kerja Indonesia di luar negeri, untuk melaksanakan kewajiban mengikuti pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dan meningkatkan kemampuannya. Oleh karena itu persyaratan tersebut bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, tetapi merupakan pilihan kebijakan (policy) pembuat undang-undang (DPR dan Presiden).

Menurut Roestandi, dalam menentukan kebijakan (policy) penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, pembuat undang-undang dihadapkan pada berbagai pilihan cara bertindak (course of actions). Dalam setiap alternatif sudah tentu ada keuntungan dan kerugian, ada manfaat dan mudharat-nya. Kewenangan untuk menentukan pilihan itu ada di tangan pembuat undang-undang. Walaupun MK dapat mempertimbangkannya, menurut Roestandi, bukan kewenangan MK untuk memutusnya. ?Dengan demikian, Pasal 35 huruf d undang-undang a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 35 huruf d undang-undang a quo seharusnya ditolak? kata Roestandi dalam pembacaan dissenting opinion-nya. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=107

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...