Skip to main content

MENGAMATI PERMASALAHAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah/negara, peraturan perundang-undangan mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. yang menjadi Keynote Speaker pada Seminar "Tinjauan Terhadap Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia" yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI bekerja sama dengan Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Sabtu, 9 September 2006 pukul 09.00-13.00 WIB bertempat di Gedung Serbaguna Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan.

Lebih lanjut Natabaya menjelaskan, kelebihan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari hukum tertulis adalah lebih dapat menimbulkan kepastian hukum, mudah dikenali, dan mudah membuat dan menggantinya kalau sudah tidak diperlukan lagi atau tidak sesuai lagi. Kelemahannya, kadang suatu peraturan perundang-undangan bersifat kaku (rigid) dan ketinggalan zaman karena perubahan di masyarakat begitu cepat.

Di samping itu, karena peraturan perundang-undangan adalah produk politis (karena dibuat oleh organ/lembaga politik yang tentunya dapat saja bernuansa politis), dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining (tawar-menawar) yang bermuara pada kompromi (dapat juga konsensus/kesepakatan) politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang/tidak mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi. "Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari dalam proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan," jelasnya.

Prof. Dr. Maria Indrati Soeprapto, S.H., M.H. yang menjadi pembicara pada seminar tersebut menyampaikan bahwa pembahasan tentang sistem perundang-undangan Indonesia adalah pembahasan yang selalu berkaitan dengan sistem hukum Indonesia. "Sistem hukum dapat dilihat sebagai suatu kumpulan atau susunan teratur (dari) aturan-aturan hukum atau norma-norma hukum," katanya.

Lebih lanjut Maria menjelaskan, oleh karena itu orang tidak dapat mengisolasi antara hukum atau norma hukum dari sistem hukum tempat berlakunya. "Dan juga orang sama sekali tidak dapat berbicara tentang sistem hukum tanpa menyinggung norma yang ada di dalamnya," ujar pakar hukum tata negara Universitas Indonesia ini.

Seminar yang diakhiri dengan peluncuran buku Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia karya Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. terbitan Setjen dan Kepaniteraan MK ini menghadirkan pula Prof. (Emeritus) Dr. HR. Taufik Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dan Dr. Febrian, S.H., M.S. (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sriwijaya), sedangkan sebagai moderator adalah Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D. (Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya).

Menanggapi buku Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia karya Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Prof. (Emeritus) Dr. HR. Taufik Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. yang juga memberikan pengantar dalam buku ini mengungkapkan pendapatnya bahwa buku ini selain bersifat teoritis, juga bersifat praktis karena isinya memang merupakan the living law baik berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 (hasil amandemen) maupun berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=206

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...