Skip to main content

DPR TAK BISA BENTUK PENGADILAN HAM AD HOC BERDASARKAN DUGAAN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 18/PUU-V/2007, Kamis (21/2), di Ruang Sidang Pleno MK.

Eurico Guterres merupakan Pemohon perkara tersebut. Guterres yang pernah diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc mengajukan permohonan pengujian Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden" beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini".

MK dalam pertimbangan hukum putusan berpendapat bahwa Pemohon pada dasarnya tidak mempersoalkan eksistensi Pengadilan HAM ad hoc, melainkan mempermasalahkan proses pembentukannya yang melalui usulan DPR kepada Presiden yang kemudian menetapkannya dengan Keppres yang merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon mengenai Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta dalil-dalil yang terkait itu tidak perlu dipertimbangkan lagi oleh MK.

Sehubungan dengan substansi Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, MK berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu.

Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, yaitu Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Harus dipahami pula bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme tersebut.

Dengan demikian, menurut MK, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap putusan ini seorang Hakim Konstitusi yaitu I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menindaklanjuti putusan MK ini, kuasa hukum Guterres, M. Mahendradatta, ketika ditemui seusai sidang menyatakan akan segera mengajukan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung No. 06 K/Pid.HAM AD HOC/2005 yang menjatuhkan putusan pidana penjara sepuluh tahun kepada Guterres. Putusan tersebut sama dengan putusan Pengadilan HAM ad hoc Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 04/Pid.Ham/ad.hoc/2002/PH.JKT.PST.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=564

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...