Skip to main content

SEBAGIAN KETENTUAN UU PENANAMAN MODAL BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Mahkamah Konsitusi (MK) menyatakan bahwa sebagian ketentuan Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 21-22/PUU-V/2007, Selasa (25/3), di Ruang Sidang MK.

Bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”.

Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka” juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Perkara 21/PUU-V/2007 yang diajukan Diah Astuti, dkk. merupakan permohonan pengujian Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c UU PM. Sedangkan Daipin, dkk. dalam perkara 22/PUU-V/2007 mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan (3) Pasal 12 ayat (1) dan (3) Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PM.

Menurut MK, dari keseluruhan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, ternyata hanya sebagian ketentuan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan konstitusi. Argumentasi MK terkait dengan sebagian ketentuan tersebut adalah meskipun terhadap Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai—yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu—negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 ayat (4) UU PM.

Dengan kata lain, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas negara. Padahal, perusahaan penanaman modal dapat mempersoalkan secara hukum keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Sehingga, bagi MK, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.



Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berbunyi:

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:

a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;

c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;

d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.


“Sebagai akibat dinyatakan inkonstitusionalnya sebagian ketentuan tersebut, maka, terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal, ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, membacakan Konklusi Putusan.

Di dalam Konklusi Putusan tersebut, terkemuka pula pendapat MK bahwa Pasal 12 Ayat (2) huruf b UU PM merupakan konstitusional bersyarat yaitu sepanjang kata-kata “berdasarkan undang-undang”. Frase tersebut harus dimaksudkan sama pengertiannya dengan “oleh undang-undang”.



Pasal 12 ayat (2) UU No, 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berbunyi:

“Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.”



Terhadap Putusan MK, Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya mempunyai alasan berbeda (concurring opinion). Sedangkan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Zainal Abidin, Kuasa Pemohon Perkara 22/PUU-V/2007, ketika ditemui seusai sidang menyatakan, walaupun hanya hanya sebagian permohonan yang dikabulkan, tetapi Putusan MK merupakan selangkah kemenangan atas perjuangan melawan kapitalisme yang berbasis neo-liberalisme. “Kami akan melangkah lebih jauh lagi menggunakan jalur-jalur hukum yang masih tersedia,” ujar advokat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=606

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...