Skip to main content

UU KOTA TUAL. MK NYATAKAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan para Pemohon perkara 31/PUU-V/2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal ini dikarenakan para Pemohon tidak dapat membuktikan kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat dan para Pemohon juga tidak dapat membuktikan secara spesifik dan tertentu adanya kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku (UU Kota Tual).



Dalaqm sidang pengucapan putusan, Rabu (18/6), di Gedung MK, terungkap bahwa Abdul Hamid Rahayaan, Gasim Renuat, dan Abdul Gani Refra (para Pemohon) tidak dapat membuktikan bahwa mereka secara sah dapat mewakili kesatuan masyarakat hukum adat yang diatasnamakan. “Di samping itu, para Pemohon juga tidak dapat membuktikan secara spesifik dan tertentu adanya kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya UU Kota Tual,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, membacakan Pertimbangan Hukum Putusan.



Para Pemohon menguji UU Kota Tual karena beranggapan bahwa dengan disahkan dan diundangkan berlakunya UU Kota Tual telah menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon. UU Kota Tual telah membagi Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Para pemohon juga beranggapan mereka mewakili kesatuan masyarakat hukum adat yang dirugikan karena terbagi/terpecahnya masyarakat hukum adat dan wilayah kekuasaan hukum adat.



Dalam persidangan sebelumnya, Rabu (20/2), kedudukan para Pemohon yang mendalilkan dirinya sebagai Kepala Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, ternyata mendapat sanggahan. Saksi H.N. Renuat yang telah disumpah menyatakan Gasim Renuat hanyalah Pejabat Kepala Desa. Oleh H.N. Renuat dinyatakan pula bahwa Abdul Hamid Rahayaan bukan Pimpinan masyarakat hukum adat Pata Siwa di Key Maluku Tenggara.



Selanjutnya, dalam persidangan yang sama, Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, H. Mahmud Muhamad Tamher, juga menyatakan bahwa dua tokoh adat (para Pemohon) yang mengatasnamakan sembilan tokoh adat tersebut tidak representatif. Gubernur Maluku sempat mengungkapkan pembentukan Kota Tual telah mendapat dukungan para pimpinan adat, yaitu adanya dukungan para Raja (Rat) Kabupaten Maluku Tenggara dalam Surat Nomor 05/Prov/IV/2005 tertanggal 11 Maret 2005.



Selain itu, dalam keterangannya menanggapi kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Gubernur Maluku menyatakan bahwa masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat terhimpun dalam beberapa ratschap (wilayah hukum adat) dan bukan membawahi (hirarkis) seperti yang disebutkan oleh para Pemohon.



Terhadap sanggahan saksi H.N. Renuat, maupun terhadap keterangan yang disampaikan Gubernur Maluku selaku Pihak Terkait, para Pemohon tidak mengajukan bantahan sebaliknya. Karenanya, MK berpendapat, keterangan yang disampaikan oleh saksi H.N Renuat dan Gubernur Maluku sebagai keterangan yang benar, sehingga para Pemohon tidak memiliki kapasitas bertindak untuk dan atas nama kesatuan masyarakat hukum adat selaku para Pemohon.



Sehubungan dengan kerugian konstitusional para Pemohon, tentunya hal tersebut terkait dengan hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut MK, bila yang berkaitan dengan wilayah laut haruslah dapat dipastikan dengan jelas substansi dan batas-batasnya, mengingat pada wilayah laut diberlakukan banyak ketentuan peraturan perundang-undangan.



Karena itu, para Pemohon harus dapat membuktikan hak tradisional tersebut secara spesifik dan tertentu. Para Pemohon juga harus membuktikan apakah hak tradisional tersebut sebagai hak untuk menguasai wilayah laut ataukah hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya yang berada di laut.



Hak-hak tradisional tersebut harus pula dibuktikan keberadaannya, sifatnya, cakupannya secara khusus, spesifik, dan tertentu sebagai hak para Pemohon dan bukan hak kesatuan masyarakat hukum adat yang lain, hak pemerintahan daerah, dan hak pemerintah pusat di wilayah laut. Dalam persidangan-persidangan ternyata memang para Pemohon juga tidak dapat membuktikan secara spesifik dan tertentu hak-hak tradisional tersebut dan adanya kerugian hak konstitusional sebagai akibat berlakunya UU Kota Tual. “Dengan demikian para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima,“ ucap Ketua MK, Jimly Ashhiddiqie.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=1642

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...