Skip to main content

PRINSIP-PRINSIP CAMDEN: INTERPRETASI PROGRESIF KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN KESETARAAN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Judul Buku: Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan
Penulis/Penerbit : ARTICLE 19 dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Tahun Terbit : April 2009
Jumlah Halaman : 13 halaman

Dimulai dari diskusi di London pada tanggal 11 Desember 2008 dan 23-24 februari 2009, ARTICLE 19, sebuah organisasi HAM pejuang kebebasan berekspresi di Inggris menyusun prinsip-prinsip Camden. Prinsip-prinsip tersebut, khususnya mengenai kebebasan berekspresi dan kesetaraan merupakan sebuah upaya untuk melakukan interpretasi progresif terhadap hukum dan standar internasional, praktik yang berlaku di berbagai negara, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui di berbagai negara.

Prinsip-prinsip tersebut disusun berdasarkan pemahaman bahwa kebebasan berekspresi dan kesetaraan merupakan hak-hak dasar. Perwujudan hak-hak tersebut penting agar seluruh hak asasi manusia bisa dinkmati dan dilindungi. Kedua hak ini juga saling mendukung dan memperkuat hak-hak asasi manusia lainnya (halaman 3).

Sebagaimana dirasakan dalam praktik berbagai negara, hak atas kebebasan berekspresi dan kesetaraan sering ditempatkan dalam posisi saling bertentangan atau dalam relasi konflik. Perwujudan hak atas kebebasan berekspresi memungkinkan terjadinya perdebatan yang hidup dan mencakup banyak aspek. Perdebatanlah yang mampu menyuarakan berbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Pada akhirnya, kesetaraan dapat menjadi korban karena kebebasan berekspresi tidak bisa berkembang karena ada suara-suara yang terpinggirkan.

Prinsip-prinsip Camden mengakui pentingnya media dan alat-alat komunikasi publik untuk mewujudkan ekspresi yang bebas. Media dan alat komunikasi publik lainnya dapat membangun kesetaraan bila mampu membuka akses yang setara untuk semua. Nyatanya terdapat ancaman-ancaman, khususnya ditujukan kepada kelompok minoritas dan keberagaman media yang hakiki. Ancaman tersebut datang dari kepemilikan media yang terkonsentrasi dan tantangan-tantangan pasar, termasuk kegagalan bisnis.

Kondisi tersebut membawa kesempatan dan tantangan pada pluralisme dan kepentingan publik. Prinsip Camden menyatakan kebutuhan adanya kebijakan yang efektif dan kerangka kerja regulasi yang melindungi pluralisme dan keberagaman. Namun demikian, kebijakan dan kerangka kerja tersebut harus dibangun di atas landasan dialog sosial yang terbuka luas. Dialog sosial yang luas tersebut akan mampu memicu perdebatan yang hidup tentang peran media di masyarakat dan melibatkan para pemangku kepentingan dari komunitas-komunitas yang berbeda, pejabat publik, pemerintah, dan masyarakat sipil. Perdebatan tersebut tentunya yang terbuka, tak bersifat pengekangan sangat penting untuk memerangi sterotip negatif terhadap individu dan kelompok serta kerugian yang timbul akibat prasangka jelek.

Meskipun demikian, Prinsip-prinsip Camden mengakui ada ungkapan-ungkapan tertentu, misalnya penyebarluasan kebencian antarras yang dilakukan dengan sengaja, mengakibatkan dampak yang sangat merugikan terhadap kesetaraan sehingga harus dilarang. Larangan tersebut dilakukan dalam regulasi dengan definisi secara sempit agar pengekangan tidak disalahgunakan. Perlu ada langkah-langkah efektif untuk memastikan agar regulasi-regulasi ini diharapkan setara demi kepentingan semua kelompok yang mendapatkan perlindungan (halaman 4).

Akhirnya, Prinsip-prinsip ini mengakui bahwa baik kebebasan berekspresi dan kesetaraan sama-sama memperkuat perkembangan dan gairah hidup organisasi-organisasi masyarakat sipil. Hal ini memberikan suara dan ruang pada kelompok-kelompok yang rentan dan kurang beruntung. Suara dan ruang tersebut membuat kelompok-kelompok tersebut dapat memperjuangkan perlindungan atas hak-hak mereka. Prinsip-prinsip ini juga menegaskan kembali visi yang digarisbawahi di bagian Mukadimah dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap individu dan perangkat masyarakat perlu berjuang mempromosikan penghormatan atas hak-hak kebebasan berekspresi dan kesetaraan juga memastikan pengakuan dan penegakan hak-hak tersebut secara universal dan efektif (halaman 5).

Prinsip-prinsip Camden yang dijelaskan dalam buku ini, diantaranya, I. Perlindungan hukum terhadap kesetaraan dan kebebasan berekspresi yang mencakup Prinsip 1: Ratifikasi dan adopsi hukum hak asasi manusia; Prinsip 2: Kerangka hukum untuk melindungi hak atas kebebasan berekspresi; Prinsip 3: Kerangka hukum untuk melindungi hak atas kesetaraan; Prinsip 4: Akses terhadap Pemulihan. II. Hak untuk didengar dan hak untuk berbicara yang mencakup Prinsip 5: Kerangka kerja kebijakan publik untuk pluralisme dan kesetaraan; Prinsip 6: Peran media massa; Prinsip 7: Hak Koreksi dan Hak Jawab. III. Mempromosikan rasa saling memahami antarbudaya yang mencakup: Prinsip 8: Tanggung jawab Negara; Prinsip 9: Tanggung jawab media; Prinsip 10: Aktor lain. IV. Kebebasan berekpresi dan perkataan yang merugikan yang mencakup: Prinsip 11: Pembatasan dan Prinsip 12: Penyebarluasan Kebencian.

Buku yang diterbitkan oleh ARTICLE 19 dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini hanyalah sebuah pengantar umum semata. Paparan yang masih sangat deskriptif tentunya tidak mampu memenuhi keinginan pembaca dalam memahami, apalagi mengaplikasi kan berbagai prinsip ini. Karenanya pembaca lebih baik mencari informasi lain dalam http://www.article19.org.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...