Skip to main content

Masyarakat Hukum Adat

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Terkait dengan itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyatakan bahwa salah satu bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang me¬rumus¬kan salah satu kategori pemohon adalah: “Kesatu¬an masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Artinya, menurut Jimly, untuk dapat menjadi pemohon peng¬ujian undang-undang (UU), kelompok masyarakat adat itu harus¬lah (i) termasuk ke dalam pengertian kesatuan masya¬rakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri memang masih hidup; (iii) per¬kembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimak¬sud sesuai dengan perkembangan masyarakat; (iv) se¬suai pula dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (v) diatur dalam UU. Tentu perlu diperjelas pula kelompok masyarakat yang manakah atau yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan yang mana yang bukan.

Jimly kemudian berpendapat bahwa harus pula dibedakan dengan jelas antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan masya¬rakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat adalah kum¬pulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan ber¬sama sebagai suatu community atau society, se¬dang¬kan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pe¬nger¬tian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, kesatuan masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adat¬nya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusan perkara 31/PUU-V/2007 tertanggal 18 Juni 2008 yang kemudian diikuti putusan perkara 6/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Juni 2008 berpendapat bahwa menurut kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat (i) teritorial, (ii) genealogis, dan (iii) fungsional.

Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat yang besifat genealogis ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang bersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali. Sementara itu, kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun-temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan, dan sebagainya.

Karena Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka MK menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan UUD 1945, yaitu bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut: 1. masih hidup; 2. sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. ada pengaturan berdasarkan undang-undang.

Lebih lanjut menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut: 1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; 2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...