Skip to main content

Perbedaan MK Indonesia dan Turki


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Seusai mempelajari sistem ketatenegaraan Indonesia dan mengumpulkan berbagai informasi mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia kurang lebih 10 hari di Jakarta, dua orang judge reporter MK Turki, Mr. Kadir Ozkaya dan Mrs. Nurdan Okur, berkesempatan memberikan Public Lecture (kuliah umum) tentang MK Turki kepada mahasiswa program pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Sabtu, 23 Januari 2010 di Yogyakarta.

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. yang dalam kesempatan tersebut menjadi keynote speaker menyampaikan, kuliah umum mengenai MK Turki penting bagi mahasiswa untuk membandingkan kewenangan antarlembaga negara tersebut.

Jika dibandingkan, memang jelas terlihat ada perbedaan kewenangan MK Indonesia dan MK Turki. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan MK Indonesia adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Kewenangan MK Turki disebutkan didalam Pasal 148 Konstitusi 1982, dan diperjelas lagi di dalam Pasal 18 Undang-Undang 2949 Tahun 1983 mengenai Hukum Acara MK Turki. Menurut Nurdan Okur, wewenang dan fungsi tersebut dapat dijabarkan yaitu: memeriksa pembatalan konstitusionalitas undang-undang, dan Peraturan Pelaksanaan Parlemen Turki (Turkish Grand National Assembly) baik dalam hal format maupun substansi; memeriksa perbedaan konstitusionalitas undang-undang dan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dinyatakan oleh Pengadilan Negeri; mengadili Presiden Republik dan anggota Dewan Menteri, Ketua dan Hakim MK, the Court of Cassation, the Council of State, the Military Court of Cassation, the High Military Administrative Court, Ketua Jaksa Penuntut Umum dan wakil, Hakim Ketua dan anggota the Council of Judges and Prosecutors, serta dari the Court of Accounts, menyangkut pelanggaran dalam hal pelaksanaan fungsi masing-masing.

“Selain itu, MK Turki berwenang menyelesaikan perkara pembubaran partai politik yang menurut Pasal 69 Konstitusi 1982 diajukan oleh Ketua Jaksa Penuntut Umum (Chief Public Prosecutor of the Republic) dan melaksanakan audit terhadap partai politik, “ungkap Nurdan. Selebihnya, tugas MK turki adalah memeriksa keputusan Parlemen dalam pemberian kekebalan kepada anggota Parlemen, dan memeriksa pengajuan pengeluaran anggota Parlemen dan memilih dan mengangkat Ketua dan Wakil Ketua dari the Court of Jurisdictional Disputes.

Untuk menangani berbagai perkara tersebut, MK Turki terdiri dari 11 anggota penuh dan dan empat anggota pengganti.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...