Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Judul Buku: Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi
Penulis: Mustafa Lutfi
Penerbit: UII Press Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2010
Jumlah Halaman: xiii + 207
Segala hal mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) memang menarik perhatian karena terkait dengan peralihan kekuasaan walaupun hanya di tingkat lokal. Tentu saja hal tersebut menjadi lebih menarik ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi berwenang menyelesaikan sengketa Pemilukada dan mengeluarkan putusan-putusan di luar pakem.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan konstitusional MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Perlu diingat, berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon awalnya harus diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Aturan itu kemudian diubah dengan Pasal 236C UU 12/2008 yang memaktubkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”. Selanjutnya, pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA dan Ketua MK bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili. Sejak saat itulah secara “resmi” MK menangani sengketa Pemilukada.
Kajian buku Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi dimulai dari kondisi tersebut.
Menyimak judul buku, Penulis kiranya menganggap hal tersebut merupakan sebuah “perluasan kewenangan”. Tentunya frasa tersebut menarik untuk diperdebatkan lebih lanjut. Terlepas dari itu, kerangka tulisan telah dimulai dari bagian I yang menelisik kewenangan konstitusional MK dan bagian II yang menjelaskan konstruksi teoritik kewenangan MK dalam memutus sengketa Pemilukada. Dalam bagian II tersebut paling tidak diungkap teori negara hukum demokrasi, teori konstitusi, teori faham konstitusionalisme Indonesia, dan teori kewenangan.
Setelah penguraian dasar-dasar pemikiran yang hampir setengah halaman buku tersebut, pada bagian III diungkap potret perluasan kekuasaan MK. Bagian IV menceritakan dinamika Pemilukada di Indonesia. Bagian V adalah tentang hukum sengketa Pemilukada. Menarik untuk membandingkan perbedaan frasa yang digunakan oleh penulis dalam judul buku, yaitu “perluasan kewenangan” dan “perluasaan kekuasaan” dalam judul bagian III. Apakah kesalahan tulisan semata atau memang dimaksudkan demikian. Karena terdapat perbedaan makna antara kewenangan dan kekuasaan. Wewenang (bevoeheid) menurut Bagir Manan adalah kekuasaan yang diberikan atau berdasarkan hukum, sedangkan Kekuasaan (macht) bisa didapatkan atas dasar hukum atau tidak berdasarkan hukum (Kekuasaan Kehakiman Indonesia, dalam UU No. 4 Tahun 2004: 2007).
Pada bagian VI mengenai anotasi putusan MK, diketengahkan dua anotasi putusan yaitu atas Pemilukada Jawa Timur dan Langkat. Penulis menyetujui putusan MK atas dua perkara tersebut. Apalagi terhadap putusan Pemilukada Jawa Timur, yang menjadi preseden penyelesaian sengketa Pemilukada selanjutnya.
Sampai sekarang, dalam setiap putusan Pemilukada akan selalu muncul kalimat, “Apabila diketemukan fakta hukum dalam proses penyelenggaraan Pemilukada terjadi pelanggaran serius, baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang merusak sendi-sendi Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil) sehingga mempengaruhi hasil Pemilukada maka Mahkamah dapat mempertimbangkan dan menilai apakah proses penyelenggaraan Pemilukada tersebut telah berlangsung sesuai dengan asas Luber dan Jurdil sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan UU 32/2004 juncto UU 12/2008 (vide Putusan Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008).“
Pada bagian terakhir, yaitu bagian VII (Rethinking Penyelenggaraan Pemilukada yang Demokratis dan Partisipatif), Penulis, menyoroti, di antaranya, mengenai pasangan calon perseorangan dan proses rekrutmen komisi pemilihan umum.
Terkait hal tersebut, perlu disimak pendapat MK dalam Putusan 33/PUU-VIII/2010, “Bahwa walaupun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Mahkamah tidak begitu saja percaya pada kenyataannya pemilihan kepala daerah benar-benar berlangsung secara demokratis. Oleh sebab itu, sebagaimana telah menjadi tekad Mahkamah untuk menegakkan keadilan substantif, Mahkamah pun menginginkan terwujudnya “demokrasi substantif” dalam penyelenggaraan Pemilukada. Untuk itu kita perlu bersama-sama membangun budaya hukum demokratis, antara lain, dengan melaksanakan Pemilukada secara demokratis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Begitu juga harus ada mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada yang bertumpu pada asas hukum dan demokrasi”.
Comments