Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Permohonan Kombes. Pol. (Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H. atas pengujian pasal-pasal dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan dengan larangan penggunaan hak berpolitik untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI-Polri dalam pemilihan umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, pagi ini (18/1) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena terganjal legal standing (kedudukan hukum).
Menurut Sofwat, larangan untuk memberikan hak memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap setiap warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial, yaitu sebagai anggota TNI-Polri. Padahal negara wajib memberikan perlakuan yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi terhadap semua anggota warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial sebagaimana teracantum dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.”
Selain itu, Sofwat menganggap bahwa larangan untuk menggunakan hak pilih bagi setiap Anggota TNI-Polri, membuat anggota TNI-Polri tidak memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, karena keikutsertaannya dalam pemilu. Padahal mengikuti pemilu adalah bagian dari tanggung jawab semua warga negara dalam rangka ikut serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pertimbangan Hukum MK
Menanggapi permohonan yang diajukan Sofwat sebagai pensiunan polisi, terkait dengan legal standing, MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia—yang juga telah merupakan norma yang berlaku secara universal—pensiunan tentara atau polisi tidaklah sama statusnya dengan tentara atau polisi aktif. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan permohonan tersebut, Sofwat tidaklah dapat bertindak seakan-akan anggota Polri aktif.
Sebagai pensiunan (mantan) anggota Polri, Sofwat juga tidak dapat mengatasnamakan anggota Polri yang masih aktif, karena kata ”nya” dalam frasa ”hak dan/atau kewenangan konstitusional “nya” dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK mempersyaratkan kerugian itu merupakan kerugian yang dialami (diderita)–nya sendiri, bukan kerugian yang diderita oleh pihak lain.
Terkait dengan pengalaman Sofwat di masa lalu yang pernah mengalami sendiri kerugian hak konstitusional akibat berlakunya undang-undang yang diujinya ketika hendak mengajukan diri sebagai bakal calon Anggota DPD Kalimatan Selatan yang harus mengundurkan diri dari Dinas Polri dengan hak pensiun. MK berpendapat, apabila permohonannya dikabulkan, maka tidak akan memulihkan hak konstitusionalnya yang pernah dirugikan. Sebab kualifikasi Sofwat pada saat ini berbeda dengan kualifikasi Pemohon pada saat kerugian hak konstitusional itu terjadi.
Apalagi bila dihubungkan dengan Pasal 145 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, “Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya” dan Pasal 102 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”. MK berpendapat, kedua ketentuan tersebut nyatanya bersifat einmalig (berlaku sekali), karena hanya berlaku untuk Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden tahun 2004. Sehingga walaupun kedua ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional Sofwat dan bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap kepentingan konstitusionalnya saat ini.
Oleh karena itu MK berpendapat bahwa permohonan Sofwat harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan karenanya pokok perkara tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut.
Tanggapan Pemohon
Menanggapi putusan MK itu, Sofwat ketika diminta komentarnya terkait dengan dirinya yang diputuskan tidak memiliki legal standing menyatakan akan mencoba mencari anggota TNI-Polri yang masih aktif untuk menjadi pemohon agar dinyatakan memiliki legal standing. “Mungkin akan sulit, karena anggota TNI-Polri yang masih aktif harus meminta izin terlebih dahulu kepada atasannya,” ujar Sofwat seusai sidang pembacaan putusan. (Lwe)
Pasal-Pasal dalam Undang-undang yang dimohonkan Kombes. Pol. (Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H. untuk diuji MK:
a) Pasal 145 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, “ Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya”,
b) Pasal 102 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”.
c) Pasal 230 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, “Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang”,
d) Pasal 28 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi, “Anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”
e) Pasal 39 Angka 4 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi, “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis langsung”.
Permohonan Kombes. Pol. (Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H. atas pengujian pasal-pasal dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan dengan larangan penggunaan hak berpolitik untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI-Polri dalam pemilihan umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, pagi ini (18/1) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena terganjal legal standing (kedudukan hukum).
Menurut Sofwat, larangan untuk memberikan hak memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap setiap warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial, yaitu sebagai anggota TNI-Polri. Padahal negara wajib memberikan perlakuan yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi terhadap semua anggota warga negara karena perbedaan pekerjaan dan status sosial sebagaimana teracantum dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.”
Selain itu, Sofwat menganggap bahwa larangan untuk menggunakan hak pilih bagi setiap Anggota TNI-Polri, membuat anggota TNI-Polri tidak memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, karena keikutsertaannya dalam pemilu. Padahal mengikuti pemilu adalah bagian dari tanggung jawab semua warga negara dalam rangka ikut serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pertimbangan Hukum MK
Menanggapi permohonan yang diajukan Sofwat sebagai pensiunan polisi, terkait dengan legal standing, MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia—yang juga telah merupakan norma yang berlaku secara universal—pensiunan tentara atau polisi tidaklah sama statusnya dengan tentara atau polisi aktif. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan permohonan tersebut, Sofwat tidaklah dapat bertindak seakan-akan anggota Polri aktif.
Sebagai pensiunan (mantan) anggota Polri, Sofwat juga tidak dapat mengatasnamakan anggota Polri yang masih aktif, karena kata ”nya” dalam frasa ”hak dan/atau kewenangan konstitusional “nya” dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK mempersyaratkan kerugian itu merupakan kerugian yang dialami (diderita)–nya sendiri, bukan kerugian yang diderita oleh pihak lain.
Terkait dengan pengalaman Sofwat di masa lalu yang pernah mengalami sendiri kerugian hak konstitusional akibat berlakunya undang-undang yang diujinya ketika hendak mengajukan diri sebagai bakal calon Anggota DPD Kalimatan Selatan yang harus mengundurkan diri dari Dinas Polri dengan hak pensiun. MK berpendapat, apabila permohonannya dikabulkan, maka tidak akan memulihkan hak konstitusionalnya yang pernah dirugikan. Sebab kualifikasi Sofwat pada saat ini berbeda dengan kualifikasi Pemohon pada saat kerugian hak konstitusional itu terjadi.
Apalagi bila dihubungkan dengan Pasal 145 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, “Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya” dan Pasal 102 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”. MK berpendapat, kedua ketentuan tersebut nyatanya bersifat einmalig (berlaku sekali), karena hanya berlaku untuk Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden tahun 2004. Sehingga walaupun kedua ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional Sofwat dan bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap kepentingan konstitusionalnya saat ini.
Oleh karena itu MK berpendapat bahwa permohonan Sofwat harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan karenanya pokok perkara tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut.
Tanggapan Pemohon
Menanggapi putusan MK itu, Sofwat ketika diminta komentarnya terkait dengan dirinya yang diputuskan tidak memiliki legal standing menyatakan akan mencoba mencari anggota TNI-Polri yang masih aktif untuk menjadi pemohon agar dinyatakan memiliki legal standing. “Mungkin akan sulit, karena anggota TNI-Polri yang masih aktif harus meminta izin terlebih dahulu kepada atasannya,” ujar Sofwat seusai sidang pembacaan putusan. (Lwe)
Pasal-Pasal dalam Undang-undang yang dimohonkan Kombes. Pol. (Purn.) Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H. untuk diuji MK:
a) Pasal 145 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi, “ Di dalam Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya”,
b) Pasal 102 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”.
c) Pasal 230 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, “Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang”,
d) Pasal 28 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi, “Anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”
e) Pasal 39 Angka 4 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi, “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis langsung”.
Comments