Skip to main content

Perlindungan Konstitusi bagi Aktivis Asing

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Penangkapan 15 pengunjuk rasa yang berasal dari Malaysia, Pakistan, dan Srilanka, hanya karena mereka orang asing tidaklah dapat dibenarkan. (Koran Tempo, 9 April 2008). Karena konstitusi telah menegaskan, setiap orang, tanpa terkecuali, berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

UUD 1945 tentunya tidak tanpa maksud membedakan penyebutan “warga negara” dan “orang” dalam beberapa pasalnya. Sebagai contoh, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan Pasal 28E ayat (3) yang termasuk dalam Bab Hak Asasi Manusia memaktubkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Warga negara yang dimaksud tersebut adalah setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia . Warga negara (citizens) mempunyai hu­bung­an yang tidak terputus walaupun yang bersangkutan ber­­­domisili di luar negeri, asalkan yang bersangkutan tidak memutus sendiri kewarganegaraannya. Sedangkan “setiap orang” berarti siapa saja—dari negara manapun—yang mempunyai hak sebagaimana disebutkan dalam konstitusi dan harus pula mendapat perlindungan bila berada dalam wilayah Indonesia .

Pembedaan penyebutan tersebut dapat pula dilacak sejak ditetapkannya Declaration des droit de l'homme et du citoyen (pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara) pada 26 Agustus 1789 di Perancis. Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis dikatakan ba­nyak di­pengaruhi oleh Decla­ration of Inde­pendence Amerika Serikat (1776), terutama berkat jasa antara lain seorang warga ne­gara Perancis yang berna­ma La Fayette yang pernah ikut berperang di Amerika Serikat.

Kedua naskah deklarasi tersebut sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini kemudian disusul oleh The Uni­versal Declaration of Human Rights tahun 1948. (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara jilid II, Konpress, 2005, hal. 91).

Pada mulanya, UUD 1945 hanya memuat tujuh butir ketentuan tentang hak-hak asasi (dengan nomenklatur hak-hak warga negara). UUD 1945 kemudian digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan kemudian UUDS Tahun 1950. Kedua naskah undang-undang dasar ini memuat ketentuan yang lebih leng­kap tentang hak asasi manusia. Hal ini terjadi, ka­rena ketika itu, The Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 sudah ada, dan sedang sangat populer di dunia. Namun, UUDS Tahun 1950 tidak berlaku lagi sejak tang­gal 5 Juli 1959.

Sekarang, setelah Perubahan UUD 1945, ke­tentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan, se­karang telah bertam­bah secara sangat signifikan.

Salah satu perubahan substansial adalah kategorisasi hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang ting­gal dan berada dalam wi­layah hukum Republik Indonesia, dan yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Re­publik Indonesia. Tercatat banyak penjaminan hak asasi manusia bagi setiap orang dalam UUD 1945, diantaranya:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
7. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
8. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
9. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
10. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
12. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
13. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
14. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
15. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
16. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
17. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
18. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
19. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab negaralah untuk menjamin agar semua ketentuan ten­tang hak-hak dan kebebasan asasi manusia atau­pun hak dan kebebasan warga negara, dihor­mati dan di­penuhi dengan sebaik-baiknya. Termasuk penjaminan hak asasi manusia bagi 15 aktivis lembaga swadaya masyarakat dari sejumlah negara di Asia yang ditangkap aparat.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...