Skip to main content

PELANGGARAN PEMILUKADA KABUPATEN KERINCI TAK TERBUKTI

Oleh Luthfi Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) nyatakan pelanggaran pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Kerinci Tahun 2008 Putaran Kedua, yang didalilkan oleh Pemohon, Ami Taher dan Dianda Putra (Pasangan Calon Nomor Urut 1), tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum. Hal ini disampaikan dalam sidang putusan perkara 61/PHPU.D-VI/2008, Rabu (14/1/2009), di ruang sidang MK.

”Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon yang bersifat administratif maupun pelanggaran pidana dalam proses Pemilukada Kabupaten Kerinci, Mahkamah berpendapat hal-hal tersebut seharusnya diselesaikan oleh Panwaslu dan lembaga terkait lainnya,” jelas Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.

Namun, lanjut Maruarar, pada umumnya pelanggaran-pelanggaran tersebut oleh Pemohon tidak dilaporkan secara resmi sesuai dengan prosedur. Dengan demikian, pelanggaran-pelanggaran tidak bisa dibuktikan menurut hukum.

Pemohon pada sidang-sidang sebelumnya telah mengajukan 14 saksi untuk membuktikan dalil adanya pelanggaran Pemilukada. Akan tetapi, Termohon, KPU Kabupaten Kerinci, membantah dalil tersebut dengan mengajukan 28 saksi yang menyatakan bahwa Pemilukada Kabupaten Kerinci berjalan dengan tertib, aman, dan lancar.

Selain itu, jika selisih 16.209 suara antara Pemohon dan Pemenang versi KPU, Pasangan Calon Nomor Urut 6, Murasman dan Mohd. Rahman, dikurangi dengan jumlah suara berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang didalikan, menurut MK, tetap tidak dapat memenangkan Pemohon.

”Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan sah Keputusan KPU Kabupaten Kerinci Nomor 109 Tahun 2008 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kerinci Tahun 2008 Putaran Kedua dan Penetapan Calon Terpilih Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kerinci Tahun 2008 bertanggal 15 Desember 2008,” tegas Ketua MK, Moh. Mahfud MD, membacakan Amar Putusan.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...