Skip to main content

Landasan Hukum Baru Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan

Oleh Luthfi Eddyono

Untuk memberikan pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa penting dan peristiwa kependudukan yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan administrasi kependudukan.

Peraturan perundang-undangan mengenai administrasi kependudukan khususnya yang mengatur pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang ada saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan hak asasi manusia, sehingga perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru yang sesuai dengan keadaan yang berkembang saat ini (bayangkan saja, selama 61 tahun, administrasi kependudukan Indonesia masih menggunakan produk kolonial Belanda). Hal itu yang mendasari dibentuknya UU Administrasi dan Kependudukan (UU Adminduk).

Akhirnya, setelah sempat menciptakan polemik dikalangan politisi, Rancangan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan (RUU Adminduk telah disahkan menjadi UU Adminduk) dalam rapat paripurna DPR, Jumat (8/12/2006) lalu. Seperti disampaikan sinarharapan.co.id, walau sidang paripurna DPR untuk mengesahkan UU Adminduk hanya dihadiri puluhan anggota DPR, namun, sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar tetap mengambil keputusan untuk mengesahkannya. Sidang ini dihadiri pula oleh Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf mewakili pemerintah.

Undang-undang yang terdiri atas 14 bab, 42 pasal, dan 222 ayat tersebut awalnya merupakan gabungan dua RUU, yaitu RUU Administrasi Kependudukan dan RUU Tata Cara Catatan Sipil. Undang-undang tersebut mengatur pendaftaran penduduk, catatan sipil, dan sistem administrasi kependudukan. Keberadaan undang-undang ini oleh beberapa pihak dianggap telah meletakkan landasan hukum baru bagi penyelenggara administrasi kependudukan dalam hukum positif di Indonesia, mengingat sebelum ada UU Adminduk, sistem kependudukan memiliki empat masalah, yaitu masalah landasan hukum, kelembagaan, sumber daya manusia dan mekanisme. Karenanya, UU Adminduk diharapkan dapat menjadi solusi masalah-masalah tersebut.

Undang-undang tersebut diharapkan banyak memberikan manfaat bagi masyarakat karena tujuannya adalah untuk memberi pelayanan publik yang prima bagi masyarakat yang datang melaporkan peristiwa penting yang dialaminya. Undang-undang ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi pelanggaran dan kriminalitas karena biasanya tindak kejahatan akan leluasa dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk memalsukan dokumen jati dirinya.

Selain itu, diharapkan pengaturan administrasi kependudukan ini bisa menciptakan keakuratan dan kelengkapan data penduduk, yang sebenarnya menjadi salah satu indikasi terealisasinya perbaikan sistem administrasi kependudukan secara nasional. Tentunya pengaturan administrasi kependudukan tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui peningkatan kesadaran penduduk untuk melaporkan setiap peristiwa penting dan peristiwa kependudukan yang dialami.

Salah satu substansi mendasar dalam UU Adminduk, yakni pembuatan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang memberlakukan nomor induk kependudukan (NIK) kepada masyarakat. NIK ini digunakan sebagai kunci untuk melakukan verifikasi dan validasi seseorang untuk mendukung pelayanan publik. NIK terdiri dari 16 digit yang didasarkan pada variabel kode wilayah, tanggal lahir, dan nomor seri penduduk.
NIK ini dicantumkan di kartu tanda penduduk, kartu keluarga, paspor, surat izin ,engemudi dan dokumen kependudukan lainnya. Nantinya, NIK akan berkembang menjadi single identification number (SIN) dan melekat pada seseorang yang telah terdaftar sebagai warga negara Indonesia.

Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf seperti dilansir medanbisnisonline.com, mengungkapkan rencana bahwa dalam jangka 5 tahun diharapkan database kependudukan sudah terlaksana dan semua penduduk Indonesia sudah mempunyai nomor induk kependudukan (NIK). Jika database tersebut sudah beres, maka akan dilakukan interkoneksi dengan departemen-departemen lain untuk akses informasinya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Astari mengungkapkan Departemen Dalam Negeri saat ini sedang mempersiapkan peraturan pelaksanaan UU Adminduk, berupa 14 peraturan pemerintah, 16 peraturan presiden, dan delapan peraturan menteri yang segera ditetapkan dalam waktu dekat. Hal tersebut disampaikannya kepada medanbisnisonline.com.

Terlepas dari kelebihan undang-undang tersebut, ternyata beberapa pihak menyatakan UU Adminduk mempunyai kelemahan. Hal ini terkait dengan masih dicantumkannya kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP). Padahal kenyataannya terdapat penghayat aliran kepercayaan, sehingga dianggap masih ada diskriminasi dan penghilangan hak-hak sipil warga negara yang menganut agama atau kepercayaan di luar lima agama yang diakui.

Selain itu, poligami juga dinilai menyulitkan pembuatan database adminduk. “Jika seorang laki-laki mempunyai 10 istri kan nggak mungkin dia tercatat 10 kali sebagai kepala keluarga di 10 kartu keluarga. Hal ini akan menyulitkan pendataan jumlah kepala keluarga di Indonesia,” kata Sayuti. (Lwe)

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret ...