Skip to main content

Hanya Pemerintah yang Dapat Memohon Pembubaran Parpol

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Permohonan Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 (UU Parpol) dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK) yang diajukan oleh Pong Hardjatmo, dkk serta Masyarakat Hukum Indonesia, ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada hari ini Kamis, (3/1/2013).

Pong Hardjatmo, dkk dalam permohonannya berpendapat, ketentuan yang membatasi hak untuk mengajukan permohonanpembubaran partai politik yang hanya kepada pemerintah dan tidak diberikan kepada pihak lain adalah bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, menurut mereka, sanksi adiminstratif dalam bentuk pembekuan sementara partai politik dan kepengurusan partai politik mereduksi kewenangan absolut Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik.

 Menurut MK, Pasal 24C UUD 1945 tidak mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan perkara pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah sebagai pemohon dalam perkara pembubaran partai politik merupakan pilihan pembentuk Undang-Undang dalam menyusun dan membentuk ketentuan hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam UU MK, sehingga Pasal 68 ayat (1) UU MK tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan mengenai kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD 1945.

Terkait dengan adanya pengaturan mengenai pembekuan sementara terhadap partai politik walaupun bukanlah suatu pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, namun demikian tetap dapat dijadikan alasan pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran ke MK. Sanksi pembekuan tersebut bersifat sementara dan memiliki jangka waktu yang jelas, sehingga pada akhirnya putusan pembubaran terhadap partai politik yang telah dikenai sanksi pembekuan tetap berada di MK. Dengan kata lain tidak ada proses pembubaran secara paksa terhadap partai politik yang tidak melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, menurut MK, ketentuan dalam UU Parpol mengenai sanksi adminsitratif terhadap partai politik berupa pembekuansementara kepengurusan partai politik tidak mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik sehingga ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...