Skip to main content

Resensi: Progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam Menemukan Hukum


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono



Judul Buku: Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi
Penulis: Munafrizal Manan, S.H., S.Sos, M.Si, M.IP
Penerbit: CV Mandar Maju
Terbitan: Cetakan I, Oktober 2012
Jumlah Halaman: xiii + 117.

Mengapa hukum harus ditemukan? Pada mulanya, upaya penemuan hukum (rechtsvinding) muncul sebagai akibat peraturan perundang-undangan terdokumentasi tidak lengkap atau tidak jelas. Oleh karenanya, menurut Munafrizal Manan, dalam memutus suatu perkara maka hakim harus kreasi aktif menemukan solusi hukum. Kreasi aktif perlu dilakukan oleh hakim karena hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau kurang jelas dasar hukumnya, tetapi juga tidak boleh tidak memutus suatu perkara dengan alasan yang sama. Berlakulah asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum).

Hal demikianlah yang mendasari Mahkamah Konstitusi dalam memutus beberapa perkara penting secara progresif dan “menerobos hukum”. Dasar normatif juga dapat ditemukan dalam Pasal 16 UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Munafrizal Manan, seorang mantan staf peneliti Mahkamah Konstitusi pada kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, mencoba menganalisis temuan-temuan yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak awal berdirinya, yaitu  Pertama, pengeyampingan ketentuan Undang-Undang. Kedua, menunda tidak mengikatnya Undang-Undang. Ketiga, konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).

Putusan yang mengesampingkan ketentuan Undang-Undang adalah Putusan Nomor 004/PUU-I/2003. Pasal 50 UU 24/2003 telah menentukan pembatasan bahwa undang-undang yang dapat diajukan pengujian hanya sepanjang mengenai undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Pasal 50 ini berada dalam bagian mengenai hukum acara, yang seharusnya mengatur tata cara bagaimana hak dan/atau kewenangan konstitusional yang termuat dalam UUD 1945 dipertahankan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi dalam kenyataannya hukum acara dalam UU 24/2003, khususnya Pasal 50 mengatur pembatasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Terhadap kasus tersebut, dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan, Hakim Mahkamah Konstitusi karena jabatannya akan memeriksa perkara permohonan in casu dengan mengenyampingkan Pasal 50 tersebut dengan berpegang teguh kepada bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 21 ayat (1) UU 24/2003 untuk memastikan bahwa keterikatan hakim konstitusi dalam menjalankan segala peraturan perundang-undangan itu adalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dan/atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Jikalau ada peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan atau justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak terikat pada peraturan perundang-undangan dimaksud atau jika peraturan dimaksud berbentuk undang-undang dan dimohon untuk diuji berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka sudah dengan sendirinya, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengujinya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Putusan yang menunda tidak mengikatnya Undang-Undang terdapat dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, “Apabila Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.”

Putusan yang menentukan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) paling tidak terdapat pada Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, “UU SDA telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Sehingga, apabila Undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional).”

Berbagai putusan penting tersebut telah dikaji oleh Munafrizal Manan, dengan temuan-temuan yang penting sekali untuk diperdebatkan.  Salah satunya hasil kajiannya bahwa penemuan-penemuan Mahkamah Konstitusi menyeret institusi tersebut dalam melakukan judicial activism melalui putusan-putusan yang bersifat ultra petita dan menimbulkan kecenderungan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yudisial yang superbody. Pada akhirnya, menurut Munafrizal, putusan-putusan yang berdimensi penemuan hukum akan menghadapi ujian sejarah. Kemanfaatan hukum secara final belumlah dapat dinilai sekarang. Putusan-putusan demikian kelak akan dinilai oleh “Mahkamah Sejarah”.


Buku ini sangat baik dijadikan bahan bagi akademisi maupun praktisi yang ingin mencoba memotivasi Mahkamah Konstitusi agar menciptakan penemuan-penemuan hukum baru. 

*Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Konstitusi No. 78- Agustus 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus