Skip to main content

Sultan Hamid II: “Perancang” Lambang Negara Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Bendera,  bahasa,  dan  lambang  negara,  serta  lagu  kebangsaan  Indonesia menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang  beragam  sebagai  bangsa  besar  dan  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia.”
Penjelasan Umum UU 24/2009

 
Pasal  36A UUD 1945 setelah amendemen telah menyatakan  bahwa  Lambang  Negara  ialah  Garuda  Pancasila  dengan semboyan Bhinneka  Tunggal  Ika. Sebelumnya UUD 1945 belum pernah memilliki norma demikian, walaupun dalam pembahasan UUD 1945 pada Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945 sempat diutarakan keinginan untuk penormaannya oleh Parada Harahap. Akan tetapi keinginan tersebut tidak dipenuhi. Setelah adanya penetapan lambang negara tersebut, hingga saat ini secara resmi belum ditentukan juga siapa sebenarnya perancang lambang negara Burung Garuda tersebut.

Padahal sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 24/2009, Bendera  Negara  Sang  Merah  Putih,  Bahasa  Indonesia, Lambang  Negara Garuda  Pancasila,  dan  Lagu Kebangsaan  Indonesia  Raya  merupakan  jati diri  bangsa  dan  identitas  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia.  “Keempat simbol  tersebut  menjadi  cerminan  kedaulatan  negara di  dalam  tata pergaulan  dengan  negara-negara  lain  dan  menjadi  cerminan  kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.  Dengan  demikian,  bendera,  bahasa,  dan  lambang  negara,  serta lagu  kebangsaan  Indonesia  bukan  hanya  sekadar  merupakan  pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.”

UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan juga tidak menyebutkan siapa sebenarnya perancang lambang negara. Berbeda dengan Lagu Kebangsaan, Pasal 58 UU 24/2009 telah menentukan siapa penggubahnya. Disebutkan dalam UU tersebut, “Lagu  Kebangsaan  adalah  Indonesia  Raya  yang  digubah oleh Wage Rudolf Supratman”.

Perancang Lambang Negara
Banyak pihak yang menyebutkan perancang Burung Garuda adalah Sultan Hamid II, walaupun ada juga yang menyebutkan perancang yang lain adalah Mohammad Yamin. Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fachturachman Nur sebagaimana dilansir oleh merdeka.com, hingga kini memang belum ada pengakuan secara hukum bahwa Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara Indonesia, Burung Garuda. "Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab. Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab," ujar Turiman.

Walaupun demikian Turiman dalam tesis S-2 di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia yang berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan) dan telah dipertahankan pada 11 Agustus 1999 dengan pembimbing Prof. Dimyati Hartono, sebagaimana dilansir liputan6.com telah menunjukkan data-data mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda. Menurutnya perancang lambang negara adalah Sultan Hamid II.

Sultan Hamid II adalah Sultan kedelapan dari Kesultanan Kadriah Pontianak. Nama lengkapnya Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie. Sultan ke-VII Kesultanan Pontianak ini lahir pada 12 Juli 1913. Beliau merupakan Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, pendiri Kota Pontianak.
Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II dikenal cerdas. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda Belanda dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936.

Dia kemudian diangkat sebagai Sultan Pontianak VII pada Oktober 1945. Sultan Hamid II juga pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tahun 1948. Bahkan Sultan Hamid pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Majelis permusyawaratan negara-negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Presiden Sukarno kemudian mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949pada 20 Desember 1949 dan beliau menjabat hingga tahun1950.

Sehubungan dengan perancangan lambang negara, menurut liputan6.com, berdasarkan buku Mohammad Hatta yang saat itu menjadi Perdana Menteri RIS, yaitu Bung Hatta Menjawab, Menteri Priyono telah ditugaskan oleh Sukarno untuk melaksanakan sayembara lambang negara dan telah menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik, yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II, sehingga karya Muhammad Yamin ditolak.

Rancangan Gambar Lambang Negara
Pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah final dan disempurnakan berdasarkan aspirasi dan saran yang ada. Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari kemudian, yaitu 15 Februari 1950, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta.

Menurut liputan6.com, pada 20 Maret 1950 bentuk final lambang negara rancangan Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.

Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara.

Berdasarkan kajian Turiman dalam tesisnya pada tahun 1999, terdapat dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Rancangan Tahap Pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar kiriman Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa. Gambar lambang negara tersebut dikritisi oleh Panitia Lambang Negara.

Kemudian, Rancangan Tahap Kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur sama. Menurut Turiman, yang juga penulis buku Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara bersama Anshari Dimyati dan Nur Iskandar, figur burung elang rajawali itulah yang kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950 Nomor 2, serta ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951.

Menurut Tukiman pula, Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 menyebutkan, secara semiotika hukum penamaan lambang negara RIS itu adalah Rajawali - Garuda Pancasila, sedangkan Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, padahal Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 menyebut “berdekatan dengan burung Elang Rajawali”.

Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 disebutkan, “Burung garuda, yang digantungi perisai itu, ialah lambang tenaga pembangun (creatif vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung garuda dari mythologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang rajawali.”
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II disebut terlibat dengan peristiwa Westerling sehingga perancang lambang negara tersebut harus menjalani proses hukum dan dipenjara selama 16 tahun oleh pemerintah Sukarno.


Sumber Bacaan:
Mohammad Taufik, “Pemerintah didesak akui Sultan Hamid jadi pembuat lambang Garuda”, [http://www.merdeka.com/peristiwa/pemerintah-didesak-akui-sultan-hamid-jadi-pembuat-lambang-garuda.html], diakses 10 Agustus 2015.


“Sultan Hamid II, Pencipta Burung Garuda”, [http://news.liputan6.com/read/107407/sultan-hamid-ii-pencipta-burung-garuda] diakses 10 Agustus 2015.

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi, Agustus 2015

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus