Skip to main content

UU SUSDUK DIANGGAP DISKRIMINATIF

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Sidang Pleno Pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) pada hari Jumat, 12 Mei 2006 pukul 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Permohonan perkara nomor 008/PUU-IV/2006 ini diajukan oleh Djoko Edhi Soetijipto Abdurrahman, anggota DPR/MPR RI Komisi III (A-173) dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Djoko Edhi menganggap Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk yang memuat kalimat "Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan" menimbulkan multi interpretasi pada keseluruhan kalimat dalam pasal tersebut yang melahirkan diskriminasi dan kemudian akhirnya mengabaikan atau mengaburkan hak asasi manusia khususnya terhadap dirinya sebagai anggota DPR RI. Dengan demikian menurut Djoko Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk bertentangan dengan pasal 28C ayat (2), pasal 28D, pasal 28G ayat (1) dan pasal 28J UUD 1945.

Pada persidangan ini Abdul Fickar Hadjar, S.H. , M.H. kuasa hukum Pemohon menjelaskan beberapa hal yang dirubah dalam permohonan. Yang pertama, menurut Fickar, adalah menghilangkan dasar pertentangan Pasal 28G dan J ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 85 ayat (1) UU Susduk sehingga dalam permohonan yang telah diperbaiki tidak dicantumkan lagi. Yang kedua, dalam permohonan yang diubah itu Pemohon lupa menghapus Pasal 50 UU MK sebagai dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Menanggapi saran dari majelis hakim terkait dengan adanya paket undang-undang politik yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan (UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dan UU Susduk) karena ada keterkaitan substansi satu sama lain tentang hal yang dimohonkan oleh pemohon, kuasa hukum Pemohon Dr. H. Teguh Samudra, S.H., M.H. menyatakan akan menambahkan petitum dan positanya dalam permohonan, khususnya pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Menanggapi hal itu Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., M.CL dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H., M.H. menyarankan agar Pemohon melakukan renvoi (perbaikan) permohonan. (Luthfi W.E.)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=140

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...