Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2008

MHI GUGAT UU KPK

Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Masyarakat Hukum Indonesia (MHI). Sidang ini dilaksanakan pada hari Selasa (30/5/2006) jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. MHI yang diwakili Direktur Eksekutifnya A.H. Wakil Kamal, S.H. menganggap UU KPK yang menaungi keberadaan KPK bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. MHI juga menganggap, UU KPK bertentangan dengan prinsip negara hukum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bertentangan dengan asas-asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) yang dianut UUD 1945 serta bertentangan dengan asas kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dengan adanya pertentangan UU KPK dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum dan keadilan, menurut MHI, telah mengakibatkan sistem ketatanegaraan dan siste

MENAFSIRKAN LEMBAGA NEGARA

Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang untuk memeriksa perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Drs. H. M. Saleh Manaf (Bupati Bekasi) dan Drs. Solihin Sari (Wakil Bupati Bekasi) terhadap Presiden RI (Termohon I), Menteri Dalam Negeri (Termohon II) dan juga DPRD Bekasi (Termohon III). Sidang tersebut dilaksanakan pada Selasa, 16 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Sidang ini dihadiri Pemohon dan kuasa hukumnya, Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution, S.H., dkk, serta kuasa hukum Termohon I Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Menteri sekretaris Negara), kuasa hukum Termohon II Nata Iswara (staf ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Hukum) dan Termohon III Drs. H. Sa'adudin, MM.(Ketua DPRD Bekasi). Pada kesempatan itu hadir pula ahli Termohon I yaitu: Harun Kamil S.H., Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. Slamet Efendi Yusuf, M.Si., ahli dari Pemohon yaitu: Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., Topo Santoso

PENTINGNYA PEMBUDAYAAN, PEMASYARAKATAN DAN PENDIDIKAN HUKUM

Perkembangan dan pembangunan sistem hukum nasional tidak hanya tergantung kepada lembaga-lembaga penegak hukum. Untuk menegakkan konstitusi dan konstitusionalisme, diperlukan kerja sama semua pihak, terutama unsur perguruan tinggi sebagai institusi yang akan melahirkan pemimpin bangsa dan negara, serta sebagai institusi yang dipercayai mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kritis-obyektif-konstruktif. Hal tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie, S.H. pada peresmian Fakultas Hukum Swiss German University (FH SGU) Jumat, 12 Mei 2006 di ruangan Financial Club, Graha Niaga Building, Jakarta. Pada kesempatan itu, Prof. Jimly juga menyampaikan betapa pentingnya pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Menurut Jimly, tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subyek hukum dalam masyarakat, nonsense suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. "Karena itu, agenda pembuda

KY MERUPAKAN "SUPPORTING ELEMENT" MA DAN MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pleno pengujian UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Rabu, 10 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Pada sidang ini selain para kuasa hukum 31 Hakim Agung, hadir pula sebagian pemohon prinsipal yaitu: Harifin A. Tumpa, S.H., M.H., Atja Sondjaja, dan Muhammad Taufik. Sedangkan dari pihak terkait (KY), selain para kuasa hukumnya, turut hadir M. Thahir Saimima, Prof. Dr. Mustafa Abdullah dan Prof. Chatamah Rasyid. Sidang ini juga dihadiri para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP MPR diantaranya, Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Soetjipno, Drs. Baharudin Aritonang, M.Hum., Patrialis Akbar, S.H., dan Soetjipto, S.H. Sedangkan Pihak DPR diwakili oleh Drs. Lukman Hakim Syaefudin dan Pataniary Siahaan serta pihak pemerintah dihadiri Direkt

UU SUSDUK DIANGGAP DISKRIMINATIF

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Sidang Pleno Pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) pada hari Jumat, 12 Mei 2006 pukul 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Permohonan perkara nomor 008/PUU-IV/2006 ini diajukan oleh Djoko Edhi Soetijipto Abdurrahman, anggota DPR/MPR RI Komisi III (A-173) dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Djoko Edhi menganggap Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk yang memuat kalimat "Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan" menimbulkan multi interpretasi pada keseluruhan kalimat dalam pasal tersebut yang melahirkan diskriminasi dan kemudian akhirnya mengabaikan atau mengaburkan hak asasi manusia khususnya terhadap dirinya sebagai anggota DPR RI. Dengan demikian menurut Djoko

PENTINGNYA SOSIALISASI PERUBAHAN UUD 1945

Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Airlangga dan Forum Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Surabaya menyelenggarakan lokakarya nasional dengan tema "Perkembangan Sistem Hukum Nasional Pasca Perubahan UUD 1945". Bertempat di Hotel Hilton, Surabaya, (27/4), MK pada saat bersamaan menandatangi Memorandum of Understanding (nota kesepahaman) dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) Jawa Timur. Penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan sebelum pembukaan lokakarya yang dihadiri Gubernur Jawa Timur (Jatim), jajaran Muspida Jatim, akademisi dan praktisi hukum Jatim, serta perwakilan akademisi dari 45 fakultas hukum universitas yang ada di seluruh Indonesia. Sekretaris Jendral MK, Janedjri M. Gaffar dalam sambutannya mengungkapkan kebutuhan untuk menyosialisasikan perubahan UUD 1945 dalam berbagai kegiatan dan cara. Salah satu contoh yang diungkapkan Janedjri adalah launching naskah UUD

KY MERUPAKAN PERWUJUDAN "CHECK AND BALANCES"

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang diajukan 31 Hakim Agung pada Rabu 2 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Sidang yang beragendakan mendengar keterangan pemerintah, DPR, Komisi Yudisial dan para perumus UUD 1945 tersebut dihadiri pemerintah yang diwakili oleh Dr. Hamid Awaludin, S.H., DPR diwakili oleh Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin, Komisi Yudisial diwakili M. Thahir Saimima, dan para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP. MPR, yaitu: Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn) Drs. Sutjipno, Drs. Sutjipto, S.H., Drs. Baharudin Aritonang, M. Hum., dan Patrialis Akbar, S.H. Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin yang merupakan anggota Tim Kuasa DPR pada kesempatan itu menjelaskan bahwa dalam penyusunan naskah perubahan UUD 1945, ada semangat terjadinya check and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada,

KORBAN PELANGGARAN HAM TOLAK AMNESTI BAGI PELANGGAR HAM BERAT

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang diajukan oleh Asmara Nababan, dkk melalui Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran yang berisikan advokat dan pembela umum dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam, pagi ini Rabu 3 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Pada sidang yang lalu (12/4), Asmara Nababan, dkk diwakili oleh para kuasa hukumnya menjelaskan bahwa UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR), dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR). Selain kedua pasal tersebut, para pemohon juga menggugat Pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan, amnesti

AMNESTI TIDAK DAPAT DIBERIKAN TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang diajukan oleh Asmara Nababan, dkk melalui Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran yang berisikan advokat dan pembela umum dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam, hari ini Rabu 12 April 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Diwakili oleh kuasa hukumnya, Asmara Nababan, dkk menjelaskan bahwa UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR), dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR). Selain kedua pasal tersebut, para Pemohon yang terdiri dari para aktivis, organisasi yang dibentuk oleh para korban pelanggaran HAM 1965,

PEMBERHENTIAN SEMENTARA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Dalil Drs. H. Muhammad Madel, M.M. yang menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dianggap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak beralasan sehingga tidak pula terdapat alasan bagi MK untuk mengabulkan permohonan tersebut. Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan UU Pemda hari ini Rabu (29/3) yang dimulai jam 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Pengujian UU Pemda yang dimohonkan Bupati Sorolangun Jambi ini dikarenakan Madel merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda yang menyebutkan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Menurut Madel, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan

PASAL 35 HURUF D UU PPTKI BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 35 huruf d UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKI) bertentangan dengan UUD 1945, dengan demikian MK menyatakan pula UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan UU PPTKI hari ini Selasa (28/3) yang dimulai jam 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, MK menyatakan Yayasan Indonesia Manpower Watch tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam Perkara Nomor 020/PUU-III/2005, sehingga permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Sedangkan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik (AJASPAC), Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja (HIMSATAKI) (perkara No. 019/PUU-III/2005) permohonannya dikabulkan untuk sebagian. Dalam putusan perkara ini dua orang hakim

PERMOHONAN UJI MATERIL UU APBN 2006 DIKABULKAN SEBAGIAN

Dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU APBN 2006 yang berlangsung siang ini (22/3) Jam 13.00 WIB di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta Pusat yang dihadiri para pemohon yang terdiri dari Pengurus Besar PGRI (Pemohon I), Pengurus Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) (Pemohon II), Yayasan Nurani Dunia (Pemohon III), M. Arif Pribadi Prasodjo dalam jabatannya sebagai Koordinator Pembangunan Masyarakat Yayasan Nurani Dunia (Pemohon IV), dan Drs. Oeng Rosliana, dkk, yang kebanyakan berprofesi sebagai guru/dosen (Pemohon V), MK menyatakan menolak permohonan provisi (putusan sela) para Pemohon. Selain itu MK menyatakan permohonan para Pemohon III dan IV tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan MK mengabulkan permohonan para Pemohon I, II, dan V untuk sebagian, dengan menyatakan UU No. 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 (UU APBN 2006) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9

31 HAKIM MA MENGAJUKAN PENGUJIAN UU KY

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang Panel Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY), yang diajukan oleh 31 Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Selasa lalu (21/3/2006) Jam 14.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Dalam pembacaan permohonan oleh kuasa hukum para Pemohon, terungkap bahwa para Hakim Agung menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU KY, khususnya yang berkaitan dengan ?pengawasan hakim? yang diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), serta yang berkaitan dengan ?usul penjatuhan sanksi? yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5 UU KY. Karena dengan pasal-pasal tersebut, Hakim Agung (termasuk di dalamnya Hakim Konstitusi dari MK) menjadi obyek pengawasan serta dapat diusulkan penjatuhan sanksi oleh KY. Menangg

MEMAHAMI FRASA "DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA"

Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian materil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1990 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP) hari ini, Selasa, (21/3/2006) jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Permohonan perkara 003/PUU-IV/2006 ini diajukan oleh Ir. Dawud Djatmiko karyawan PT. Jasa Marga yang telah ditahan sejak 28 Juni 2005 sampai sekarang akibat pemberlakuan pasal tersebut. Dalam permohonannya, Djatmiko yang diwakili oleh kuasa hukumnya Kasdin Simanjuntak, Yon Richardo dkk menyatakan, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTKP yang mencantumkan kata-kata ?dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara? dalam penjelasannya menerangkan bahwa kata ?dapat? sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah di

SOSIALISASI PAJAK DI MK

Dalam rangka kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahun 2005 bagi pegawai negeri sipil (PNS), Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Penyuluhan Perpajakan melakukan sosialisasi tentang cara pengisian dan pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi di Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat pada Senin pagi (6/3/2006). Sosialisasi yang dimulai jam 10.00 WIB tersebut diikuti oleh sekitar 50 PNS MK. Pada kesempatan itu Kabid AKP kanwil DJP Jakarta V, Drs. Tri Puuwadi, M.M., mengungkapkan, masih banyak pegawai PNS yang belum mengetahui tata cara pengisian dan pelaporan SPT berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-185/PJ/2003 bertanggal 19 Juni 2003 tentang Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21, beserta petunjuk pengisiannya. Oleh karena itu

ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI TIDAK PUNYA LEGAL STANDING

Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) yang diwakili Bahrul Ilmi Yakup, S.H., dan Dhabi K. Gumayra, S.H. dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung di ruang sidang lantai 1 gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta Pusat Rabu siang ini (1/3/2006), MK berpendapat, tidak ada hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau potensial yang dirugikan, yang timbul dari hubungan sebab akibat (causal verband) berlakunya Pasal 14 ayat (1) butir i dan ayat (2) UU Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan memuat norma Pasal 14 ayat (1) butir i yang menyatakan, narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Selanjutnya penjelasannya mengungkapkan, diberikan hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh per

PERMOHONAN PT. ASTRA SEDAYA FINANCE DITOLAK

Permohonan pengujian Pasal 78 ayat (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta Penjelasannya yang telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang (UU Kehutanan) yang diajukan PT. Astra Sedaya Finance dalam sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu siang ini (1/3/2006) dinyatakan ditolak untuk seluruhnya. PT. Astra Sedaya Finance yang diwakili oleh Hendra Sugiharto, Wakil Presiden Direktur PT. Astra Sedaya Finance, menganggap norma pidana dalam Pasal 78 ayat (15) UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang limitatif karena bersifat kategoris. Akibatnya norma yang muncul adalah norma tunggal yang bersifat luas, fleksibel, vague dan memberikan beberapa peluang penafsiran (multi tafsir) serta tidak mensyaratkan adanya dwingen verband antara kondisi dan konsekuensi. Salah satu bentuk perbedaan penafsiran

PERTEMUAN MK DENGAN FOPI

Terkait dengan kontroversi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran yang merupakan "turunan" UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI) yang merupakan gabungan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE), Persatuan Radio Siaran Swasta nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia (ARSSI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), Forum Radio Jaringan Indonesia (FJRI), Asosiasi Pelayanan Radio Indonesia (APRI), dan Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi) mengadakan pertemuan (audiensi) dengan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (27/2/2006) jam 14.00 WIB di ruang sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Rombongan FOPI yang berjumlah sekitar 15 orang tersebut diterima oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Harjono, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Sekjen MK Janedjri M

SALAH INTERPRETASI TERHADAP PUTUSAN MK PENGUJIAN UU PENYIARAN

Dalam pertemuan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung di ruang sidang lantai 1 gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat pada Jumat pagi (24/2/2006), terungkap kesalahpahaman interpretasi terhadap putusan MK perkara No. 005/PUU-I/2003 pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU penyiaran). Kesalahpahaman itu berupa salah pengertian KPI yang menyangka dengan adanya putusan MK maka kewenangan regulasi KPI terhapus. Hal ini terkait juga dengan lahirnya empat Peraturan Pemerintah (PP) bidang Penyiaran pada Nopember 2005 lalu yang dianggap oleh KPI bertentangan dengan pasal-pasal UU Penyiaran. Dalam pertemuan tersebut, selain dihadiri oleh MK, KPI dan tiga KPI daerah (KPID), yaitu KPID Sumatera Utara, KPID Jawa Tengah, dan KPID Jawa Barat, pertemuan itu juga dihadiri oleh Wakil Koordinator Pokja Infokum Komisi I DPR Dedi Jamaluddin Malik dan rombongan pemerintah yang dipimpin oleh staf ahli Depkominfo Ramli. Riyanto, Ketua K

PEMBERHENTIAN SEMENTARA KEPALA DAERAH VS PRESUMPTION OF INNOCENT

Mahkamah Konstitusi(MK) menggelar sidang pleno pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 31 ayat (1) pada hari Rabu (22/2/2006) jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Pengujian ini dimohon oleh Muhammad Madel, Bupati Sorolangun Jambi yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda yang menyebutkan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Menurut Madel, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sangat tidak adil dan demokratis seseorang yang belum ada kepastian hukum (Inkrach van Gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk diskorsing (pemberhentian sementara). Madel menganggap hal tersebut telah melanggar asas praduga tak

PENANDATANGANAN NOTA KESEPAHAMAN MK DAN BI

Dalam rangka mengupayakan dengan sebaik-baiknya kerjasama dalam pengkajian, pendidikan dan penyebarluasan informasi tentang konstitusi dan kebanksentralan, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Bank Indonesia (BI) melakukan penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) hari ini Rabu (22/2/2006) jam 14.00 WIB di Gedung MK lantai 4 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Nota Kesepahaman ini ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Gultom. Rencananya bentuk kerjasama tersebut akan diaplikasikan dalam bentuk temu wicara tentang ekonomi, keuangan, moneter dan perbankan yang terkait dengan peran BI; pelatihan kebanksentralan kepada para hakim tata negara dan dosen-dosen hukum tata negara seluruh Indonesia; serta kerjasama di bidang penelitian. Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, dalam sambutannya mengungkapkan keinginan BI untuk belajar mengenai konstruksi konstitusi saat ini. Burhanuddin menyampaikan, banyak sekali hal yang perlu dilaku

PERTEMUAN MK DENGAN PERWAKILAN PROVINSI IRJABAR

Rombongan perwakilan Irjabar yang dipimpin oleh Pjs. Gubernur Irian Jaya Barat (Irjabar) Timbul Pudjianto dan Ketua DPRD Irjabar Jimmy Demianus Itjie mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka barat No. 7 Jakarta Pusat kemarin (21/2/2006) pada jam 14.00 WIB. Rombongan tersebut ditemui Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Achmad Roestandi dan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M.Gaffar. Dalam kesempatan itu Ketua DPRD Irjabar mengungkapkan tujuannya ke MK untuk menanyakan kejelasan status Provinsi Irjabar yang telah sah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), tetapi kemudian "teranulir" oleh UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Hal ini terkait dengan Pasal 76 UU Otonomi Khusus Papua yang menyebutkan pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ek

SUBSTANSI UU PPTKILN HAMPIR TIDAK BERUBAH DARI KEPMENNAKERTRANS NO. 104 TAHUN 2002

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pengujian UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Sidang pleno perkara 019/PUU-III/2005 yang diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik (AJASPAC), Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja (HIMSATAKI) dan perkara 020/PUU-III/2005 yang diajukan Soekitjo J.G. dkk. dari Yayasan Indonesia Manpower Watch diadakan di Ruang Sidang MK lantai 1, Jalan Medan Merdeka No. 7 Jakarta Pusat. Sidang yang dimulai jam 10.00 WIB ini (21/2/2006) merupakan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon. Hadir dalam sidang ini selain para pemohon dan kuasa hukumnya, dari pemerintah terlihat Direktur Litigasi Departemen Hukum dan HAM Qomaruddin, S.H., M.H. dan Mualimin, S.H., M.H. Kabag. Litigasi Departemen Hukum dan HAM. I Gusti Made Arka, Dirjen Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang sehar

MEMBANGUN RES PUBLICA

Mengapa founding person kita memilih negara kesatuan, hal itu tidak terlepas dari proses sejarah yang sudah dialami bangsa ini. Kalimat tersebut diucapkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam acara Forum Konstitusi yang diadakan RRI Pro 3, Selasa sore lalu (26/2/2006). Acara yang rutin setiap Selasa sore jam 17.00-18.00 WIB oleh RRI Pro 3 bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi itu mengupas habis permasalahan konstitusi di Indonesia. Pada kesempatan itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengangkat tema terkait dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Menurut Palguna, berdasarkan fakta empiris, bentuk negara kesatuan inilah yang paling cocok. Setidak-tidaknya asumsi itu masih bertahan hingga saat ini. Pengalaman sejarah 350 tahun yang panjang dalam proses penjajahan, lalu perjuangan kemerdekaan sporadis di daerah-daerah, telah menjadi pengalaman yang berharga bahwa inilah pilihan terbaik. "Sehingga