Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2011

TERSANGKA ATAU TERDAKWA BERHAK MENGAJUKAN SAKSI DAN/ATAU AHLI YANG MENGUNTUNGKAN PADA TAHAP PENYIDIKAN

Oleh Luthfi Eddyono Permohonan Yusril Ihza Mahendra yang menguji konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi pada 8 Agustus 2011 lalu. Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan, “ketentuan pemanggilan serta pemeriksaan saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi j

Syarat 2 Kali Masa Jabatan Kepala Daerah Tak Bertentangan dengan Konstitusi

Oleh Luthfi Eddyono Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mengatur mengenai syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu “belum pernah menjabat kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan perkara 8/PUU-VI/2008, Selasa, (6/5) di ruang sidang MK. “Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidaklah beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,” ucap Ketua MK, Jimly Asshidiiqie, dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pemohon yang dimaksud adalah Said Saggaf, Bupati Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dirugikan karena Pasal 58 huruf o UU pemda. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menerbitkan surat bertanggal 25 September 2007 Nomor 725/15/IX/2007 yang menegaskan bahwa Said Saggaf pernah m

Gaji Pendidik Masuk Anggaran Pendidikan

Oleh Luthfi Eddyono KabarIndonesia - Pasal 49 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 24/PUU-V/2007, Rabu (20/2), di Jakarta. Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)". Berarti, dengan adanya putusan MK tersebut, gaji pendidik, sebagai bagian dari komponen pendidikan, harus dimasukkan dalam penyusunan anggaran pendidikan APBN dan APBD. Lebih lanjut, menurut MK dalam pertimbangan hukum putusan perkara yang diajukan Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai tersebut, apabila gaji pendidik tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan dalam penyusunan APBN dan

Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia

Oleh Luthfi Eddyono Kecuali beberapa negara kota seperti Singapura dan Hongkong, hampir tak ada satu negara di dunia yang mengandalkan pertumbuhannya tanpa membenahi sektor pertanian. Demikian juga dengan Indonesia pada awalnya. Pada Pelita I, II, III sektor pertanian menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional. Istilah revolusi hijau (green revolution) dianggap pantas disandang oleh Indonesia saat itu. Mulai tahun 1984 negara kita dapat mencapai swasembada beras, padahal sebelumnya termasuk salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Namun nampaknya bersama dengan keberhasilan pembangunan pertanian itu tekanan dan arah pembangunan mulai bergeser ke sektor industri. Kebijaksanaan dan reformasi ekonomi seperti terwujud dalam alokasi dana, pembangunan jaringan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya, peningkatan sumber daya manusia, sampai pada tindakan proteksi secara langsung bepihak dan mendukung pada perkembangan sektor industri. Sektor industri menjadi “anak ema

Pengujian UU APBN 2008 Ditarik

Oleh Luthfi Eddyono KabarIndonesia - Perkara No. 9/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU No. 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN 2008) ditarik kembali. Hal tersebut ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang Selasa, (6/8) di Ruang Sidang MK. PGRI, yang merupakan Pemohon, diwakili Mohammad Surya, M. Rusli Yunus, dan Abdul Azis Hoesein ketika dikonfirmasi Majelis Hakim MK dalam persidangan membenarkan penarikan tersebut. Penarikan dikarenakan adanya perubahan substansi UU APBN 2008 melalui Undang-Undang APBN T/P Tahun 2008. ”Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penarikan kembali permohonan para Pemohon a quo beralasan dan tidak bertentangan dengan undang-undang, oleh karenanya permohonan Pemohon tersebut harus dikabulkan,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, membacakan Ketetapan No. 59/TAP.MK/2008. Oleh karenanya MK juga menyatakan bahwa para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan yang sama kembali. Abdul Azis Hoesein, Ketu

Permohonan BPK dalam Pengujian UU Perpajakan Tak Dapat Diterima

Oleh Luthfi Eddyono Meskipun BPK memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun karena tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusionalnya, maka syarat kedudukan hukum (legal standing) tidak terpenuhi. Sehingga, permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VI/2008 yang diajukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kamis (15/11/2008), di Ruang Sidang MK. Perkara ini terkait dengan Pasal 34 ayat (2a) huruf b sepanjang menyangkut frasa “ditetapkan menteri keuangan untuk”, dan frasa “atau instansi pemerintah”, serta Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) yang dianggap membatasi kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa penerimaan negara yang

Pasangan Capres dan Cawapres dalam Partai Politik

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) terkait pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 56/PUU-VI/2008, Selasa, (17/2/2009) di Ruang Sidang MK. Perkara tersebut diajukan Fadjroel Rachman, Mariana, dan Bob Febrian yang menganggap tata cara pengusulan dan pendaftaran pasangan calon yang dilakukan partai politik menghalangi dan menutup hak konstitusional warga negara untuk memilih dan menjadi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara independen dan langsung, tanpa melalui partai politik. Menurut MK, kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1

Sanksi kepada Pers dalam UU 10/2008

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2008 menyebabkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 32/PUU-VI/2008, Selasa, (24/2/2009) di Ruang Sidang MK. Lebih lanjut, MK menyatakan, pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, permohonan beberapa pimpinan redaksi media, yaitu: Pimpinan Redaksi Harian TERBIT, Pimpinan Redaksi Harian Umum SINAR HARAPAN, Pimpinan Redaksi Harian Umum SUARA MERDEKA, Pimpinan Redaksi Harian Umum RAKYAT MERDEKA, Pimpinan Redaksi MEDIA BANGSA, Pimpinan Redaksi Harian KORAN JAKARTA, Pimpinan Redaksi/Pimpinan Perusahaan Harian WARTA KOTA, dan Pimpinan Redaksi TABLOID CEK & RICEK dikabulkan untuk seluruhnya. Pasal 98 ayat (2) UU 10/2008 berbunyi, “Dalam hal terdapat bukti pelanggaran

Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat atas UU Pemekaran Wilayah

Oleh Luthfi Eddyono Untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi undang-undang pemekaran. Perkara tersebut adalah perkara 127/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Maurits Major, dkk atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat. Maurits Major, dkk merupakan kepala-kepala suku yang bertempat tinggal di distrik-distrik yang berada di wilayah Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang turut serta memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Tambrauw, melalui musyawarah adat menyetujui bahwa 10 (sepuluh) distrik yang berada di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong akan dijadikan wilayah Kabupaten Tambrauw. Hasil musyawarah adat tersebut telah disetujui oleh masing-masing Bupati dan DPRD Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari dan selanjutnya disetujui oleh Gubernur serta DPRD Provinsi Papua Barat, bahwa Kabupaten Tambrauw yang akan dibentuk itu terdiri dari 10 (sepuluh) distrik, yaitu 6 (enam) distrik

Pasal 53 UU KPK Mengikat Paling Lama Tiga Tahun

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Hal itu terpapar dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 yang diajukan Mulyana Wirakusumah (Perkara 012/PUU-IV/2006), Nazaruddin Sjamsuddin, dkk. (Perkara 016/PUU-IV/2006) dan Capt.Tarcisius Walla (019/PUU-IV/20060), Selasa (19/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Terkait dengan keberadaan Pengadilan Tipikor tersebut, Penjelasan Umum UU KPK menyebutkan, “.... Di samping itu, untuk meningkatkan

Pranata Penahanan Tetap Diperlukan

Oleh Luthfi Eddyono Pranata penahanan memang secara langsung bersinggungan dengan hak asasi manusia, namun dengan perumusan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, pembentuk undang-undang telah berusaha untuk mempertimbangkan adanya hak asasi pada terdakwa atau tersangka, termasuk juga dengan tersedianya pranata praperadilan. Hal tersebut terkemuka dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 yang diajukan Mayor Jenderal (Purn). H. Suwarna Abdul Fatah, Rabu (20/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Suwarna mempermasalahkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi

Permohonan Fatahilah Hoed Tidak Dapat Diterima

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Fatahilah Hoed, S.H. untuk menguji Pasal 32 ayat (3) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal itu disampaikan dalam sidang pleno pembacaan putusan terbuka untuk umum, Kamis (30/11/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka barat No. 7, Jakarta Pusat. Fatahilah menganggap hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dirugikan dengan adanya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat yang berbunyi, “Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (A

Diskriminasi kepada Advokat

Oleh Luthfi Eddyono Kasdin Simanjuntak, S.H., dkk merupakan sekelompok advokat dari Tim Pembela dan Kedaulatan Advokat yang bermaksud memohon pengujian Pasal 12 ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) terhadap Pasal 28 huruf I UUD 1945. Kasdin, dkk. merasa keberadaan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN sangat merendahkan atau meremehkan profesi advokat karena bersifat diskriminatif.Pasal 12 ayat (2) UU PUPN menyebutkan, ”Dalam hal seperti dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara.” Kaitan dengan itu, Pasal 12 ayat (1) UU PUPN menyebutkan, ”Instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.” Pasal 12 ayat (2) UU PUPN tersebut dianggap bertentan

Konstitusionalitas Kewenangan KPK

Oleh Luthfi Eddyono Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan terhadap seseorang tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini semata-mata untuk mengungkap tindak pidana korupsi, karena jika dilakukan dengan model dan cara konvensional, maka untuk mengungkap tindak pidana korupsi dalam rangka mencari bukti awal yang cukup sangatlah sulit dilakukan. Keterangan dari pemerintah tersebut disampaikan Ahmad Ube (Staf ahli Menteri Hukum dan HAM) pada Rabu (11/10) di Ruang Sidang Gedung MK. Hal ini terkait dengan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak (UU KPK) Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah, Captain Tarcisius Walla, dan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (perkara No. 012/PUU-IV/2006, 016/PUU-IV/2006 dan 019/PUU-IV/2006). Para pemohon tersebut mengajukan pengujian Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 huruf C, Pasal

Anggota DPR Tak Punya Legal Standing Dalam Uji UU Migas

Oleh Luthfi EddyonoB Para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 20/PUU-V/2007 yang dimohonkan Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy, Senin (17/12/2007), di Ruang Sidang MK. Permohonan ini terkait dengan materi muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Para Pemohon menganggap aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945. Menurut MK, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohona

MENGINGAT IBU BANGSA

Oleh Luthfi Eddyono Diilhami oleh perjuangan para pahlawan perempuan abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dll., berbagai organisasi perempuan telah ada sejak tahun 1912. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Poetri Merdika (1912), Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915); Percintaan Ibu kepada Anak Temurun (Menado, 1917); Purborini (Tegal, 1917); Aisyiyah (1917); Wanito Susilo (Pemalang, 1919); Putri Budi Sejati (Surabaya, 1919); Wanito Oetomo dan Wanito Moelyo (Yogyakarta, 1920); Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920); Wanita Katholik (Yogyakarta, 1924), dll. Pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 sebagian organisasi-organisasi perempuan tersebut mengadakan kongres di Yogyakarta dan membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hingga saat ini Kowani masih tetap eksis menjadi organisasi federasi dari 78 organisasi wanita ti

JAS MERAH SENGKON-KARTA

Oleh Luthfi Eddyono Alkisah pada 1974, Sengkon dan Karta ditangkap polisi dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Majelis hakim memutus perkara tersebut karena sangat yakin pada tuduhan jaksa penuntut umum, sehingga memutuskan Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara. Belakangan Gunel mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Sengkon dan Karta kemudian mengajukan peninjauan kembali (herziening) dan Mahkamah Agung menyatakan mereka bukanlah pelaku kejahatan tersebut. Walau begitu gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada Departemen Kehakiman ditolak.Mereka kemudian dibebaskan, meski tidak bisa menikmati umur panjang. Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah. Kejadian Sengkon-Karta inilah yang menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh kubu abolisionis (yang kontra hukuman mati). Betapa berbahaya pelaksan

Judicial Review Pasal 35 huruf (a) UU TKI

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU TKI) terhadap UUD 1945. Perkara 028/PUU-IV/2006 dan 029/PUU-IV/2006 yang diajukan Jamilah Tun Sadian dkk. dan Esti Suryani, dkk. ini terkait dengan Pasal 35 huruf (a) UU TKI yang berbunyi: “Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun.” Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan (9/1/2007), Sangap Sidauruk, S.H., kuasa Hukum Esti Suryani, dkk menjelaskan bahwa dengan adanya pembatasan umur sebagaimana diatur undang-undang tersebut, kliennya (berusia antara 19-20 tahun) telah ditolak untuk bekerja di luar negeri. Padahal menurut Sangap hal ini bertentang

Polemik Konstitusionalitas Alokasi Dana Pendidikan APBN 2007

Oleh Luthfi Eddyono Undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara (UU APBN) terkait dengan alokasi dana pendidikan kembali dimohonkan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah UU APBN 2005 dan UU APBN 2006 telah diuji, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), yang diwakili Ketua Umum Prof. DR. H. Mohamad Surya dan Ketua PB PGRI H.M. Rusli Yunus beserta Santi Suprihatin, Abdul Rosid, Sumarni, dan Zulkifli yang merupakan warga negara mengajukan permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 (UU APBN 2007) terhadap UUD 1945. Permohonan in terkait dengan sektor pendidikan dalam APBN 2007 yang hanya mendapatkan alokasi dana sebesar 11,8 % dari APBN 2007 atau hanya sekitar 90,1 triliun rupiah dari total 763,6 triliun rupiah. Menurut para pemohon, jumlah anggaran alokasi dana pendidian tersebut melanggar amanat UUD 1945 yang mengharuskan prioritas alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN ataupun APB

Perlindungan Konstitusi bagi Aktivis Asing

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Penangkapan 15 pengunjuk rasa yang berasal dari Malaysia, Pakistan, dan Srilanka, hanya karena mereka orang asing tidaklah dapat dibenarkan. (Koran Tempo, 9 April 2008). Karena konstitusi telah menegaskan, setiap orang, tanpa terkecuali, berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. UUD 1945 tentunya tidak tanpa maksud membedakan penyebutan “warga negara” dan “orang” dalam beberapa pasalnya. Sebagai contoh, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan Pasal 28E ayat (3) yang termasuk dalam Bab Hak Asasi Manusia memaktubkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Warga negara yang dimaksud tersebut adalah setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia . Warga negara (citizens) mempunyai hu­bung­an yang tidak terputus walaupun yang

SETIAP ORANG DIANGGAP TAHU HUKUM

Oleh Luthfi Eddyono Di Indonesia, setiap orang tanpa terkecuali dianggap mengetahui semua hukum/undang-undang yang berlaku dan apabila melanggarnya, akan dituntut dan dihukum berdasarkan undang-undang/hukum yang berlaku tersebut. Hal ini didasarkan pada teori fiktie yang menyatakan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen). Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum (ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man). Menurut H.A.S. Natabaya dalam buku Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, paradigma dan doktrin berpikir yang melandaskan teori fiktie lazim dalam negara yang menganut sistem civil law (Indonesia termasuk yang menganutnya sebagai peninggalan Belanda). Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan huku

Tenaga Kesehatan Tertentu Dapat Melakukan Praktik Kefarmasian Secara Terbatas

Oleh Luthfi Eddyono Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945 yang diajukan Misran, S.K.M., dkk pada tanggal 16 Juni 2011. Putusan 12/PUU-VIII/2010 tersebut mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamat