Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2010

Glosari Mahkamah Konstitusi

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Buku Registrasi Perkara Konstitusi : Buku yang memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara. Peraturan Mahkamah Konstitusi : Peraturan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Rapat Permusyawaratan Hakim : sidang yang tertutup dan bersifat rahasia untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh orang hakim Konstitusi. Jenis-jenis putusan Mahkamah Konstitusi : a.Pemohonan ditolak: •Dalam perkara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, artinya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan. •Dalam perkara S

Sumpah Advokat tak Boleh Dihalangi Pengadilan Tinggi

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Pertengkaran antara siapa organisasi advokat yang resmi yaitu antara organisasi Advokat PERADI dan KAI ternyata berefek pada munculnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 01 Mei 2009 yang intinya meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak mengambil sumpah para Advokat baru dan apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan. Akibatnya para calon Advokat yang telah lulus ujian Advokat dari organisasi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), terhalangi untuk bekerja sebagai Advokat karena belum mengucapkan sumpah atau janji yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang berbunyi, “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguhsungguh di sidang te

Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat: UU Pemekaran Wilayah

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi undang-undang pemekaran. Perkara tersebut adalah perkara 127/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Maurits Major, dkk atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat. Maurits Major, dkk merupakan kepala-kepala suku yang bertempat tinggal di distrik-distrik yang berada di wilayah Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang turut serta memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Tambrauw, melalui musyawarah adat menyetujui bahwa 10 (sepuluh) distrik yang berada di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong akan dijadikan wilayah Kabupaten Tambrauw. Hasil musyawarah adat tersebut telah disetujui oleh masing-masing Bupati dan DPRD Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari dan selanjutnya disetujui oleh Gubernur serta DPRD Provinsi Papua Barat, bahwa Kabupaten Tambrauw yang akan dibentuk itu terdiri dari 10 (sepuluh) distrik, yaitu 6 (enam

KEWENANGAN DERIVATIF LEMBAGA NEGARA

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Setelah mengalami perubahan selama empat kali, UUD 1945 tidak mengenal lagi pranata lembaga tertinggi negara sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tidak ada lagi lembaga negara yang kedudukannya lebih tinggi yang keputusannya dapat dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara. Padahal kekuasaan yang diberikan kepada lembaga negara-lembaga negara sifatnya saling membatasi antara yang satu dengan yang lain (checks and balances). Oleh karena itu, proses peradilan Mahkamah Konstitusi dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, UUD 1945, maupun UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan detail pelaksanaan kewenangan tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya yaitu pada Pasal 86 UU 24/2003. Selai

Pendidikan Hukum Klinik yang Ideal

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Pendidikan Hukum Klinik, Tinjauan Umum Judul Asli : Legal Capacity Development Documents Clinical Legal Education: General Overview Penulis : Open Society Justice Initiative Penerjemah/Penerbit : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Tahun Terbit : Juli 2009 Jumlah Halaman : X + 20 halaman Pendidikan Hukum Klinik (Clinical Legal Education) dimulai di Amerika Serikat sejak 1960-an. Komponen praktik hukum merupakan kewajiban di dalam kurikulum pendidikan hukum Amerika Serikat. Walau demikian muncul pemikiran atas kebutuhan tambahan pengabdian kepada masyarakat. Dosen-dosen hukum mulai mengembangkan a body of scholarship, sebuah lembaga di dalam kampus untuk mengembangkan kepedulian terhadap keadilan sosial. Di Indonesia, Pendidikan Hukum Klinik kemudian dikenal sejak tahun 1970-an akan tetapi lebih diarahkan pada kontribusi pendidikan hukum bagi masyarakat yaitu dengan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kampus. Menurut Uli Parulian Si

Materiele toetsing (pengujian materiil)

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Teori tentang pengujian (toetsing) membedakan pengujian menjadi materiele toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang (pengujian formil) dan materi muatan undang-undang (pengujian materiil). Dengan kata lain pengujian materiil adalah pengujian undang-undang sebagai produk (by product) atau pengujian atas materi muatan undang-undang apakah materi undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945.

Formele toetsing (pengujian formil)

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Formele toetsing (pengujian formil) adalah pengujian atas proses pembentukan undang-undang (by process). Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya adalah sejauhmana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure).

ius sanguinis

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan atau mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah (citizenship by descent). Indonesia berdasarkan UU No 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (dari garis darah ayah), tetapi kemudian dengan adanya UU No. 12 Tahun 2006, Indonesia menganut asas kewar¬ga¬negaraan campuran. UU tersebut mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) sampai usia 18 tahun. Setelah mencapai usai tersebut, anak diberikan tenggang waktu 3 tahun untuk memilih.

ius soli

Oleh Luthfi Widagao Eddyono Asas ius soli (law of the soil) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorangberdasarkan negara tempat kelahiran atau mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran (citizenship by birth). Dengan kata lain, pewarganegaraan ini berdasarkan kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah sebagai warga negara yang bersangkutan.

Naturalisasi

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Naturalisasi merupakan pewarganegaraan orang asing yang atas kehendak sendiri mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan untuk itu (citizenship by naturalization). Hampir semua negara membolehkan pengakuan kewarganegaraan melalui pewarganegaraan (naturalisasi), tetapi persyaratannya akan berbeda satu negara dengan lainnya.

Ius Curia Novit

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Adagium ini bermakna bahwa pengadilan mengetahui hukumnya (de rechtbank kent het recht). Pada awal era kodifikasi hukum, adagium tersebut dijadikan salah satu asas hukum dan termuat dalam Code Civil, yang merupakan bagian dari Code Napoleon di Perancis. Mulanya asas itu ditafsirkan sempit, yaitu hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara karena tidak ada atau kurang jelas alasan hukumnya. Penafsiran tersebut didasarkan pada keyakinan yang berkembang saat itu, bahwa hukum tertulis yang terkodifi¬kasi itu telah secara lengkap memuat aturan tentang seluruh peristiwa hukum dan hubungan hukum yang mungkin terjadi dalam seluruh segi kehidupan manusia. Namun kemudian ternyata bahwa hukum yang telah terkodifikasi itu tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal oleh perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga asas itu kemudian ditafsirkan secara luas, yaitu memberikan wewenang kepada pengadilan (hakim) untuk menemukan hukum (rechts vinding) untuk menga

Treaty Contracts

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak). Dengan treaty contracts ini perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Akibat hukum dari treaty contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu, treaty contract tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang membentuk hukum (law making treaties). Walau begitu treaty contract secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum setelah melalui hukum kebiasaan (internasional).

Ratifikasi

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu ratifikasi tidak berlaku surut melainkan baru mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi. Ratifikasi biasanya dibuat oleh Kepala Negara yang berkepentingan yang kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua kegiatan, yaitu: 1. Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya (persetujuan legislatif atau parlemen sebelum diratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing); 2. Pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktek diplomatik yang berlaku.

Konvensi

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Dalam bahasa Inggris convention mempunyai sejumlah arti, diantaranya; forum pertemuan, sesuatu kebiasaan yang teradatkan, suatu perjanjian atau kesepakatan bersama, ketentuan atau kaedah. Istilah konvensi luas dipergunakan dalam dunia keilmuan, sosial dan politik, untuk memaknai kegiatan masing-masing. Dengan mudah umpamanya, kita menemukan istilah konvensi pada landasan kenegaraan di Inggris. Di negara itu tak ada undang-undang dasar, yang ada hanya konvensi, sebuah kebiasaan yang disepakati bersama sebelumnya. Dengan kata lain, dalam bidang ketatanegaraan, konvensi dimaksudkan sebagai perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.

Pacta Sunt Servanda

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Dalam hal pentaatan perjanjian dikenal suatu prinsip yang sangat penting, yaitu pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati). Prinsip ini sangat fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktek perjanjian internasional. Prinsip ini merupakan jawaban mengapa perjanjian internasional itu mempunyai kekuatan mengikat. Dalam Pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak-pihak pada perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Prinsip iktikad baik ini tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga berlaku terhadap perjanjian internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB.

Opinio Jurisseu necessitatis

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Opinio Jurisseu necessitatis dapat diartikan keyakinan hukum golongan orang-orang yang berkepentingan. Keyakinan hukum inimerupakan salah satu syarat agar hukum kebiasaan, atau lebih sering disebut “kebiasaan” saja, dapat dijadikan sumber hukum formal. Menurut Mr. JHP Bellefroid dalam buku Inleiding Tot de Rechtsweten sehap in Nederland, yang dikutip Mudjiono dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (1991), kebiasaan meliputi seluruh peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa peraturan-peraturan itu memenuhi syarat-syarat: 1. Harus ada perbuatan atau tindakan yang semacam dalam keadaan yang sama dan harus selalu diikuti oleh umum. Dalam hal ini, tidak diperlukan seluruh rakyat ikut dalam kebiasaan tersebut, yang perlu mengikuti hanyalah golongan-golongan orang yang berkepentingan saja, bahkan yang berada dalam keadaan tertentu. Contoh: kebiasaan dalam bidang perdagangan d

Masyarakat Hukum Adat

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Terkait dengan itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyatakan bahwa salah satu bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang me¬rumus¬kan salah satu kategori pemohon adalah: “Kesatu¬an masyarakat hukum adat sepanjang masih

Provisionele Eis (penetapan provisi/sela)

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Merupakan penetapan sementara yang diminta kepada hakim dalam pemeriksaan perkara sebagai tindakan sementara dan pendahuluan. Dalam putusan perkara 21/PUU-VI/2008 tanggal 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa mekanisme suatu permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak. Selain itu, permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan. Dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, hukum acara MK yang termuat dalam UU No. 24 Tahun 2003 (UU MK) tidak mengenal permohonan provisi. Undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 58 UU MK). Ketentuan permohonan provisi tersebut hanya dikenal dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU MK yang menyatakan, ”Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan p

Publiekrecht (hukum publik)

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Hukum positif bila ditilik dari isinya biasanya dibagi dalam hukum publik dan hukum privat. Hukum publik diantaranya, hukum tata negara, hukum tata usaha (tata pemerintahan), dan hukum pidana. Hukum privat meliputi hukum perdata dalam arti sempit dan hukum dagang. Menurut pendapat sebagian ahli-ahli hukum barat, yang dikutip martias dalam Pembahasan Hukum, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum belanda-Indonesia (1982), antara hukum public dan hukum privat tidak ada perbedaan yang mutlak. Sebagai contoh, hukum adat Indonesia tidak mengenal pembedaan antara hukum public dan hukum privat.

The Global Legal Information Network

http://www.glin.gov The Global Legal Information Network (GLIN) adalah database publik yang berisi data resmi hukum, peraturan, putusan pengadilan, dan sumber-sumber hukum lainnya yang kontribusinya berasal dari lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan organisasi-organ isasi internasional. Setiap dokumen tersebut terdapat ringkasan dalam bahasa Inggris.

the free dictionary

http://legal-dictionary.thefreedictionary.com Laman ini berisi kamus hukum yang sumber utamanya adalah West's Encyclopedia of American Law, Edition 2. Terdapat lebih dari 4,000 entries yang isinya terms, concepts (konsep), kegiatan, movements (pergerakan), dan cases (kasus-kasus) berdasarkan Hukum Amerika Serikat

Perbedaan MK Indonesia dan Turki

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Seusai mempelajari sistem ketatenegaraan Indonesia dan mengumpulkan berbagai informasi mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia kurang lebih 10 hari di Jakarta, dua orang judge reporter MK Turki, Mr. Kadir Ozkaya dan Mrs. Nurdan Okur, berkesempatan memberikan Public Lecture (kuliah umum) tentang MK Turki kepada mahasiswa program pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Sabtu, 23 Januari 2010 di Yogyakarta. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. yang dalam kesempatan tersebut menjadi keynote speaker menyampaikan, kuliah umum mengenai MK Turki penting bagi mahasiswa untuk membandingkan kewenangan antarlembaga negara tersebut. Jika dibandingkan, memang jelas terlihat ada perbedaan kewenangan MK Indonesia dan MK Turki. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan MK Indonesia adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga neg