Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2014

Raden Abdoelrahim Pratalykrama: Mewacanakan Syarat Presiden “Orang Indonesia yang Aseli, Berumur Sedikit-dikitnya 40 Tahun dan Beragama Islam”

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia yang bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang merupakan Gedung Kementerian Luar Negeri), berkembang pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar yang merupakan rapat lanjutan. Khusus terkait pasal tentang syarat presiden, anggota BPUPK Raden Abdoelrahim Pratalykrama, yang juga Wakil Residen Kediri memberi komentar agar persyaratan menjadi presiden hendaklah orang Indonesia asli yang tidak kurang dari 40 tahun, dan beragama Islam. Persyaratan demikian diusulkannya agar dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang lain. Selengkapnya Pratalykrama menyatakan, “ Paduka Tuan Ketua yang terhormat! Lebih dahulu saya ucapkan pemyataan penghargaan yang sebesar-besarnya dan terima kasih kepada Panitia untuk menulis Undang-undang Dasar ini. Tuan Ketua, di antara rakyat, di mana termasuk juga saya, ada yang menginginkan, bahwa Kepala Negar

Mr. Sartono: Aktivis Pergerakan, Advokat, Politisi, dan seorang Negarawan

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono “ Kita harus memberi jaminan pada rakyat dalam anggaran dasar, walaupun tidak bisa dijalankan dalam masa perang, karena tergantung pada satu overgangsbepaling , asal dalam anggaran dasar diwujudkan, walaupun tidak sempuma .” Mr. Sartono dalam Rapat BPUPK Indonesia, 11 Juli 1945 Dalam Sidang Kedua Rapat Panitia Hukum Dasar pada tanggal 11 Juli 1945 bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Kementerian Luar Negeri) yang sedang membicarakan Rancangan Undang-undang Dasar, terkemuka usulan dari Ir. Soekarno agar Rapat membicarakan konsep unitarisme, federalisme atau bondstaat untuk diterapkan di Republik nantinya. Setelahnya akan dibentuk Panitia Kecil lagi yang diberi tugas membuat rancangan hukum dasar. Sartono, salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai--BPUPK) Indonesia, kemudian meminta agar beberapa hal yang pokok sebaiknya dibicarakan dahulu di Rapat saat itu, tidak hanya terkait

Resensi: Menuju Konsolidasi Demokrasi Konstitutional

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Democratic Constitutionalism, New Constitutionalism for the Emerging of New Democracy: The Case of Indonesia Penulis: Munafrizal Manan Penerbit : Setara Press Tahun Terbit: 2013 Jumlah Halaman: viii + 86. Kelebihan utama buku ini adalah ditulis dalam bahasa Inggris. Kelebihan lain buku ini adalah naskahnya berasal dari sebuah tesis yang telah dipertanggungjawabkan secara akademis di sebuah sekolah tinggi yang prestisius, yaitu Melbourne University. Selain itu, secara substansi, isu yang dikemukakan adalah isu yang sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini yang pastinya ingin juga diketahui dan dipahami oleh pengamat demokrasi dan hukum dari luar negeri. Karenanya naskah buku ini sangat penting untuk dipublikasikan untuk menjelaskan kepada para Indonesianis atau pihak luar yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia mengenai perkembangan dan kemajuan demokrasi di Indonesia. Sejak runtuhnya rezim orde baru d

Kiai Haji Masjkoer: Pencetus Islam Sebagai Agama Resmi Negara Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Lahir di Singasari Malang pada tanggal 30 Desember 1902, Kiai Haji Masjkoer (dalam ejaan baru menjadi Masykur) merupakan tokoh politik dan pergerakan islam yang gigih. Kegigihannya tersebut kemudian dimunculkan dalam pembahasan mengenai rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Juli 1945. Dimulai dari pembahasan pasal-pasal dalam rancangan UUD, ketika diberi kesempatan berbicara, KH. Masjkoer meminta agar terdapat konsistensi dalam rancangan Pasal 7 yang menyebutkan, Presiden harus bersumpah menurut agamanya, padahal berdasarkan UUD ada kewajiban umat islam untuk menjalankan syariat islam untuk pemeluk-pemeluknya. Saat itu, Piagam Jakarta masih ada dan termaktub “ Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja ”, demikian pula dengan draft pada Pasal 28. Karenanya, KH. Masjkoer kemudian mengusulkan kalau presiden tidak ditentukan orang i

K.H. Abdul Fatah Hasan: Mengungkap Multi Tafsir Pasal UUD 1945 tentang Agama

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Pada Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia tanggal 10 Juli 1945 bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang gedung Kementerian Luar Negeri) yang sedang membicarakan mengenai bentuk negara, Ketua Sidang Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengumumkan adanya anggota-angota baru BPUPK, salah satunya adalah K.H. Abdul Fatah Hasan. Awalnya jumlah anggota BPUPK adalah 60 orang dengan Ketua Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan Wakil Ketua Itibangase Yosio beserta R.P. Soeroso, kemudian pada tanggal 10 Juli 1945 diumumkan enam anggota tambahan, yaitu K.H. Abdul Fatah Hasan, R. Asikin Natanegara, BKPA Soerjo Hamidjojo, Ir. Pangeran M. Noor, Mr. M. Besar, dan Abdul Kaffar. K.H. Abdul Fatah Hasan lahir pada Juli 1912, di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kabupaten Serang. Ia adalah putra pertama seorang pengusaha bernama Haji Hasan Adam dan Hajah Zainab. Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Islam Al-Khairiyah, Cit

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono                 Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249). Lahir pada 3 Maret 1898 di Kogoshima, Kyushu Jepang yang  juga tempat kelahiran Laksamana Tog