Skip to main content

PASAL 32 AYAT (1) UU ADVOKAT DIUJI DI MK

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang pengujian Pasal 32 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang diajukan oleh A. Wahyu Purwana, S.H., M.H. (Pemohon I), M. Widhi Datu Wicaksono, S.H. (Pemohon II), A. Dhatu Haryo Yudo, S.H. (Pemohon III) dan Muhammad Sofyan. S.H. (Pemohon IV). Sidang tersebut dilaksanakan pada Rabu, 17 Mei 2006 jam 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Para pemohon menganggap Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan, advokat, penasehat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), (2), Pasal 28D ayat (1), (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Menurut para pemohon, lahirnya UU Advokat yang menyamakan arti kedudukan antara advokat, pengacara praktik, penasehat hukum, konsultan hukum telah merugikan orang-orang yang memiliki ilmu, pengetahuan serta pengalaman yang luas di bidang hukum, serta mengetahui seluk-beluk hukum. Hal ini terkait dengan larangan bagi mereka untuk memberi penyuluhan, memberi konsultasi hukum, maupun pekerjaan nirlaba dalam bidang penyuluhan.

Menurut para pemohon yang bekerja pada A. Wahyu Purwana, S.H. M.H. and Associated ini, terdapat pula implikasi Pasal 32 ayat (1) tersebut terhadap proses pemberian konsultasi hukum yang dilakukan oleh asisten seorang advokat kepada kliennya atau menerima klien dapat dianggap telah melakukan tindak pidana dengan memberikan keterangan palsu atau surat palsu karena mencantumkan pekerjaan berupa konsultan hukum yang tidak atau belum punya izin advokat.

Menanggapi permohonan tersebut majelis hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Prof. Dr. Abdul Mukhtie Fajar, S.H., M.H. memberikan beberapa saran, diantaranya agar para pemohon menambahkan kelengkapan alat bukti tertulis, karena ternyata para pemohon cuma menyertakan potongan pasal UU yang diuji. ?Padahal sebuah undang-undang itu suatu sistem,? kata Mukhtie.

Terkait dengan pasal UU Advokat yang diuji, majelis hakim memberikan gambaran bahwa yang dipersoalkan merupakan aturan peralihan, bukan pengertian. Majelis hakim juga menyarankan agar permohonan disistematisasi mulai dari persoalan kewenangan MK dan legal standing para pemohon berupa hak dan kerugian hak-hak konstitusional akibat berlakunya UU.

Mendengarkan saran dari majelis hakim para pemohon menyatakan akan memperbaiki permohonan.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=151

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus