Skip to main content

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono




Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda (Hoekoe Kaityoo) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang anggota istimewa berkebangsaan Jepang lainnya yang tidak memiliki hak suara karena merupakan anggota istimewa atau luar biasa. Kedudukan Ichibangase Yoshio sebagaimana disebutkan oleh RM. A.B. Kusuma (2004) adalah anggota istimewa/luar biasa (Tokubetu Iin) yang memimpin tujuh anggota istimewa/luar biasa berkebangsaan Jepang lainnya. Selanjutnya terdapat tujuh anggota tambahan BPUPK.

BPUPK pernah melaksanakan dua kali pertemuan pleno yang resmi, yaitu pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 yang menghasilkan kesepakatan dasar konstitusional berupa dasar negara, bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, ekonomi/keuangan, pembelaan, pendidikan, dan pengajaran, serta rancangan Undang-Undang Dasar, yang penting bagi pembentukan dasar-dasar konstitusi Indonesia nantinya. Sidang-sidangnya kerap dilaksanakan di Gedung Tyuuooo Sangi-in yang sekarang disebut dengan Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, di daerah Pejambon, Jakarta. Selain itu, terdapat pula sidang tidak resmi yang hanya dihadiri oleh 38 orang anggota BPUPK yang berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua untuk membahas rancangan pembukaan UUD 1945 (Mukadimmah) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.

Keberadaan Ichibangase Yoshio pada saat itu memang dianggap sebagai “bayang-bayang” dan representasi pemerintahan Jepang yang berkuasa, karenanya Yoshio berkomentar agar pendapat-pendapat yang muncul tetap disesuaikan dengan kebijakan pemerintah Jepang atas kemerdekaan Indonesia nantinya. Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011: 78) mengungkapkan anggapan Ichibangase Yoshio yang memandang kegiatan-kegiatan Ir. Soekarno merupakan pembangkangan.

Kutipan dari Yudi Latif tersebut didasarkan pada buku RMAB. Kusuma berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004) yang menyebutkan kegiatan untuk menyusun “Mukadimmah” yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dilakukan di luar prosedur yang ditetapkan oleh Jepang, sehingga Ichibangase Yoshio menyatakan bahwa kegiatan tersebut adalah suatu pelanggaran. Menurut RMAB. Kusuma, Ir. Soekarno memang menyadari bahwa kegiatan itu melanggar formalitet, karenanya pada sidang BPUPK tanggal 10 Juli 1945 beliau meminta maaf atas “pelanggaran” yang dilakukannya. Pada saat itu, rancangan Jepang adalah kemerdekaan Indonesia akan diberikan melalui dua tahap, pertama, BPUPK didirikan dan kedua, PPKI dibentuk. Menurut Ir. Soekarno, kedua tahap itu hanyalah akal-akalan Jepang untuk memperlambat kemerdekaan Indonesia. (Kusuma, 2004:20).

Terlepas dari pernyataan Ichibangase Yoshio yang menganggap sidang tidak resmi yang dipimpin Ir. Soekarno sesuatu pelanggaran terhadap rancangan Jepang atas kemerdekaan Indonesia, menurut RMAB. Kusuma, yang didasarkan pada Statement 13 November 1946, Jepang tidak dapat berbuat apa-apa karena Amerika telah menduduki Okinawa yang sangat dekat dengan Tokyo. (Kusuma, 2004:20).

Kenyataannya, BPUPK secara otomatis kemudian bubar setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) didirikan pemerintahan Jepang pada 7 Agustus 1945. Pendirian PPKI tersebut bisa dianggap sebagai salah satu peran dari  Ichibangase Yoshio sebagai Wakil Ketua BPUPK yang memimpin tujuh anggota istimewa/luar biasa berkebangsaan Jepang lainnya. Ichibangase Yoshio mungkin sekali memberi laporan yang membuat penguasa Jepang paling tidak mengambil kebijakan agar PPKI dapat dibentuk sesuai rencana Jepang atas kemerdekaan Indonesia. Keberadaan PPKI dapat dikatakan sebagai dorongan tersendiri bagi kemerdekaan Indonesia pada masa itu. PPKI itu sendiri baru bisa bersidang setelah 17 Agustus 1945, proklamasi Indonesia, yaitu pada tanggal 18-22 Agustus 1945.

Sayang sekali tidak ada sumber yang dapat ditemukan mengenai siapa sebenarnya Ichibangase Yoshio. Bahkan dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (1995) Edisi III yang diterbitkan Sekretariat Negara pada tahun 1995 dan memuat biodata ringkas dan pas foto Anggota BPUPK/PPKI tidaklah ditemukan biodata maupun foto Ichibangase Yoshio, termasuk tujuh anggota istimewa/luar biasa berkebangsaan Jepang lainnya.

Sumber Bacaan:
1.    2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Yudi Latif).
2.    2008. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008 (M.C. Rickles).
3.    2010. Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (St Sularto, Dorothea Rini Yunarti).
4.    2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (RMAB. Kusuma).
5.    2003. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (D. Rini Yunarti).
6.    2002. Memoir (Mohammad Hatta).
7.    1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Penyunting: Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati).

8.    1952. Nationalism and Revolution in Indonesia (George McTurnan Kahin).

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi Maret 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...