Skip to main content

ANGGARAN PENDIDIKAN 11,8% BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No. 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 (UU APBN TA 2007) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini disampaikan dalam sidang pembacaan putusan perkara 026/PUU-IV/2006 di Ruang Sidang MK (1/5/2007).

Dalam pertimbangan hukum putusan perkara yang diajukan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Santi Suprihatin, dkk. (sebagai warga negara Indonesia) ini, MK menjelaskan bahwa merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan, besarnya anggaran pendidikan yang tercantum dalam APBN dari tahun ke tahun sejak APBN TA 2004 hingga APBN TA 2007 belum pernah mencapai angka persentase minimal 20% [Pasal 31 ayat (4) UUD 1945].

Hal ini, menurut MK, karena Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal untuk meningkatkan anggaran pendidikan agar amanat konstitusi dapat terpenuhi. Oleh karena itu, MK sebagai pengawal konstitusi perlu mengingatkan agar anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh, agar jangan sampai MK harus menyatakan keseluruhan APBN yang tercantum dalam UU APBN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yang disebabkan oleh adanya bagian dari UU APBN (mengenai anggaran pendidikan) bertentangan dengan UUD 1945.

Terkait dengan pengujian UU APBN TA 2007 karena persentase yang lebih rendah dari yang diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, MK berpendapat bahwa besarnya persentase anggaran pendidikan terhadap APBN merupakan fakta yang tidak perlu dibuktikan. Walaupun demikian, konsekuensi dari adanya fakta tersebut perlu untuk diputuskan.

APBN yang berbentuk undang-undang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya. Pada undang-undang umumnya, pernyataan ?tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat? dalam putusan MK akan berlaku dengan sendirinya, karena ketentuan yang diuji tersebut akan langsung tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum sejak putusan MK diucapkan. Hal ini tentunya berbeda dengan UU APBN yang mempunyai akibat hukum yang lebih luas.

Menurut MK, pengembalian kepada keadaan yang konstitusional atau tidak melanggar UUD 1945 pada UU APBN harus juga sesuai dengan amanat UUD 1945 (bahwa otoritas penyusun APBN yang harus melakukan aktivitas untuk mengubah APBN tersebut). Walaupun MK memang tidak diberi kewenangan untuk memaksa otoritas penyusun APBN melakukan perubahan, namun dengan putusan MK ini seharusnya otoritas penyusun APBN akan terdorong untuk melakukan perubahan untuk menjalankan amanat UUD 1945.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=345

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan