Skip to main content

KONSTITUSIONAL BERSYARAT: MANTAN TERPIDANA KEALPAAN & POLITIK DAPAT MENJADI PEJABAT PUBLIK

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Ketentuan yang mempersyaratkan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Walau begitu terdapat persyaratan yaitu sepanjang ketentuan dimaksud diartikan tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan politik tertentu, serta dengan mempertimbangkan sifat jabatan tertentu yang memerlukan persyaratan berbeda.

Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara 14-17/PUU-V/2007, hari ini, (18/12/2007) di Gedung MK. Perkara tersebut merupakan perkara permohonan pengujian UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) terhadap UUD 1945.

Pemohon I, H. Muhlis Matu, (yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih) dan para pemohon II, yaitu Henry Yosodiningrat (dijatuhi pidana penjara karena kealpaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain), Budiman Sudjatmiko (dijatuhi pidana penjara atas dakwaan melakukan tindak pidana subversi), dan Ahmad Taufik (dijatuhi pidana penjara atas dakwaan melakukan tindak pidana penghinaan kepada Pemerintah) beranggapan persyaratan untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah [Pasal 58 huruf f UU Pemda], Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 6 huruf t UU Pilpres], Hakim Konstitusi [Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK], Hakim Agung [Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA], dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 13 huruf g UU BPK], sebagaimana disebutkan di atas, telah melanggar hak-hak konstitusional mereka dan bertentangan dengan konstitusi.

MK menyatakan menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II tersebut, walaupun ada persyaratan. Terhadap putusan ini salah seorang hakim konstitusi, Abdul Mukthie Fadjar, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

MK, dalam pertimbangan hukumnya, berpendapat bahwa setiap jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan maupun melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, jabatan publik adalah jabatan kepercayaan (vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena itu, setiap calon pejabat publik harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga nantinya didapatkan pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi.

Menurut MK, persyaratan demikian, kecuali yang ditentukan sendiri dalam UUD 1945, adalah kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk menentukannya sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatan publik yang bersangkutan serta dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Sementara itu, terhadap jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat, MK berpendapat, hal tersebut tidaklah dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri risiko pilihannya. Sebab, jabatan demikian haruslah dipangku oleh orang yang kualitas dan integritas tinggi.

Bagi MK, pencalonan seseorang untuk mengisi suatu jabatan publik dengan tanpa membeda-bedakan orang [sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945] tidak berarti negara tidak boleh mengatur atau menentukan persyaratannya. Negara dapat mengatur atau menentukan persyaratannya sepanjang pengaturan dan/atau persyaratan itu merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu. Selain itu, negara dapat mengatur atau menentukan persyaratannya sepanjang pengaturan dan/atau persyaratan tersebut tidak bersifat diskriminatif dalam pengertian tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya.

Pidana karena Kealpaan

Terkait dengan pemidanaan, menurut MK, seseorang dapat dipidana bukan semata-mata karena melakukan tindak pidana yang mengandung unsur kesengajaan (dolus), baik dalam hal kejahatan maupun pelanggaran, melainkan juga karena kealpaan (culpa), dalam hal ini kealpaan ringan (culpa levis). Dalam kealpaan demikian sesungguhnya tidak terkandung unsur niat jahat (mens rea).

Oleh karena itu, orang yang dipidana karena kealpaannya pada hakikatnya bukanlah orang yang jahat, sehingga syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”, jika diartikan mencakup pula tindak pidana yang lahir karena kealpaan, maka penafsiran demikian sesungguhnya tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan dibuatnya syarat itu yaitu menentukan suatu standar moral yang bersifat umum bagi seseorang yang hendak menduduki suatu jabatan publik.

Sebab, pemidanaan terhadap seseorang karena suatu perbuatan kealpaan sesungguhnya tidaklah menggambarkan adanya moralitas kriminal pada diri orang itu melainkan semata-mata karena kekuranghati-hatiannya, dalam hal ini kekuranghati-hatian yang berakibat timbulnya perbuatan yang dapat dipidana. Dengan kata lain, jika syarat tersebut dijadikan sebagai standar moral bagi seseorang yang hendak memangku suatu jabatan publik, maka syarat tersebut hanya dapat diterima apabila yang dimaksud adalah seseorang yang pernah dipidana karena terbukti sengaja melakukan perbuatan padahal diketahuinya perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dipidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih.

Pidana Politik

Selain itu, jika dibaca secara tekstual persyaratan yang tersurat dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK, maka persyaratan tersebut akan mencakup pula tindak pidana atau kejahatan karena alasan politik.

Yang dimaksud kejahatan karena alasan politik dalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa. Padahal, telah menjadi pandangan yang diterima secara universal bahwa kejahatan politik dalam pengertian sebagaimana diuraikan di atas bukanlah termasuk pengertian kejahatan pada umumnya.

Oleh sebab itu, menurut MK, jika rumusan Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK tersebut diartikan juga mencakup kejahatan politik dalam pengertian di atas, maka rumusan tersebut mengandung unsur diskriminasi dalam pengertian sebagaimana yang telah menjadi pendirian MK selama ini. Sebab, jika demikian halnya maka ketentuan tersebut berarti telah membuat perbedaan perlakuan yang didasarkan atas pandangan politik yang dianut seseorang, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (vide Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003).

Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK dapat dipandang memenuhi tuntutan objektif bagi penentuan persyaratan untuk menduduki suatu jabatan publik dan karenanya konstitusional, hanya jika:

  • Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK tersebut tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), meskipun ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih;
  • Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK tersebut tidak mencakup kejahatan politik [dalam pengertian sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 2) di atas].

Konstitusional Bersyarat

Kesulitan yang kemudian timbul adalah persyaratan yang dimaktubkan dalam pasal-pasal yang diuji merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan bagi pengisian suatu jabatan publik, sepanjang diartikan tidak mencakup kealpaan ringan dan kejahatan politik. Selain itu, MK terikat oleh ketentuan Pasal 56 UU MK yang menentukan hanya ada tiga kemungkinan amar putusan yaitu, “permohonan dinyatakan tidak dapat diterima” (yakni jika pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat), “permohonan dinyatakan dikabulkan” (yakni jika permohonan beralasan), atau “permohonan dinyatakan ditolak” (yakni jika permohonan tidak beralasan). Padahal terhadap kasus ini, dengan berpegang pada pertimbangan MK di atas, amar putusan tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kemungkinan bunyi amar putusan tersebut.

Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah dengan menyatakan dalam Pertimbangan Hukum putusan bahwa pasal-pasal tersebut “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) sepanjang diartikan tidak mencakup kealpaan ringan dan kejahatan politik. Dengan kata lain penyelesaian atas persoalan sebagaimana yang diharapkan para pemohon lebih tepat melalui proses legislative review oleh pembentuk undang-undang.

Untuk itu MK merekomendasikan kepada pembentuk undang-undang agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh keharmonisan suatu undang-undang baik secara internal maupun eksternal, dan juga secara horizontal antar berbagai undang-undang yang berisikan persyaratan untuk jabatan publik tertentu. Dalam hubungan ini, mengingat kekhususan-kekhususan karakter dalam jabatan-jabatan publik tertentu menyebabkan tidak semua jabatan publik dapat demikian saja ditentukan persyaratannya dengan menggunakan rumusan norma yang bersifat umum. Oleh karena itu perlu dilakukan pembedaan persyaratan jabatan publik yang dipilih (elected officials) dengan yang diangkat (appointed officials), jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dengan jabatan publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan aspirasi rakyat, dan jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya serta pejabat yang mengelola keuangan negara dengan jabatan-jabatan lainnya.

Salah seorang pemohon, Budiman Sudjatmiko, ketika ditemui seusai sidang menyatakan persetujuannya terhadap putusan MK, “apakah orang yang kritis dan kemudian dikenai kejahatan politik dapat dikatakan moralnya lebih rendah?” tanyanya bernada retoris. Lebih lanjut, aktivis yang pernah dijatuhi pidana penjara atas dakwaan tindak pidana subversi ini, beranggapan agar rekomendasi dalam pertimbangan hukum MK yaitu legislatif review harus segera dilakukan.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=509

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan