Skip to main content

KPI TAK PUNYA LEGAL STANDING DALAM UJI MATERI UU PENYIARAN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945, sehingga permohonannya harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal ini terungkap dalam sidang pleno pembacaan putusan perkara 031/PUU-IV/2006 di Jakarta (17/4/2007).

Menurut MK, berlakunya UU Penyiaran tidak menimbulkan kerugian hak atau kewenangan konstitusional KPI. UU Penyiaran sebagai sumber kewenangan KPI sekaligus sebagai undang-undang yang membentuk dan melahirkannya, tidak mungkin menimbulkan kerugian bagi kewenangannya, karena rumusan, ruang lingkup, serta isi wewenang KPI tersebut dirumuskan dalam undang-undang yang membentuk KPI sendiri.

MK berpendapat bahwa KPI sebagai lembaga negara yang merupakan "produk" atau sebagai "anak kandung" UU, KPI tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap undang-undang yang melahirkannya, karena hal itu sama dengan mempersoalkan eksistensi atau keberadaannya sendiri.

Selain itu, KPI sebagai satu lembaga yang lahir dan dibentuk dengan satu undang-undang akan menerima eksistensi dan segala wewenang, tugas, dan kewajibannya, dengan segala kelemahan atau kekurangan maupun keuntungan dan kerugiannya, sebagai hal yang melekat dalam dirinya sendiri. Menurut MK, bagaimana mungkin satu undang-undang yang melahirkan satu lembaga dengan segala kewenangan, fungsi, tugas, dan kewajibannya merugikan kewenangan yang diberikan undang-undang itu. Kalaupun ada, maka lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara lain, bukan lembaga negara yang dilahirkan oleh UU KPI.

MK juga menyatakan bahwa KPI sebagai lembaga negara yang merupakan produk dari UU Penyiaran yang melahirkannya, tidak akan pernah dirugikan oleh UU Penyiaran itu sendiri, dengan tafsiran apapun yang akan dipakai atas Pasal 51 UU MK atas kerugian kewenangan konstitusional suatu lembaga negara. Karena, dengan kelahiran eksistensi dan kewenangan-kewenangannya, KPI semata-mata merupakan pihak yang diuntungkan (beneficiary), terlepas dari kemungkinan adanya penilaian oleh sementara kalangan bahwa rumusan kebijakan yang dituangkan dalam UU Penyiaran kabur atau terdapat pertentangan dalam dirinya sendiri (self-contradictory).

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=334

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...