Skip to main content

MK: LARANGAN RANGKAP JABATAN PENGURUS KONI TIDAK BATASI HAM

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Dengan berlakunya Pasal 40 Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), Pemohon sebagai orang pribadi tidak dibatasi atau dihilangkan hak asasinya. Hal tersebut disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 27/PUU-V/2007 pada Jumat, (22/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Lebih lanjut menurut MK, pengurangan atau pembatasan HAM baru terjadi jika Pemohon dilarang menjadi pejabat struktural atau pejabat publik.



Pemohon yang dimaksud adalah Saleh Ismail Mukadar yang menjabat sebagai ketua KONI Surabaya sekaligus Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur. Saleh beranggapan keberadaan Pasal 40 UU SKN yang berbunyi: “Pengurus komite olah raga nasional, komite olah raga propinsi, komite olah raga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik” sangat diskriminatif sehingga bertentangan dengan konstitusi karena membatasi atau melarang pejabat publik untuk duduk menjadi pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).



Menurut MK, Pasal 40 UU SKN tidak mengatur mengenai pembatasan HAM tetapi mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pejabat struktural dan pejabat publik. Dengan larangan rangkap jabatan yang hanya berlaku bagi pejabat struktural dan pejabat publik itu, tidak ada satu pun hak asasi Pemohon selaku orang pribadi (natuurlijke persoon) yang dilanggar. Pemohon tidak terpasung haknya untuk memajukan diri secara kolektif, tidak kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan berlakunya Pasal 40 UU SKN.



Diskriminasi, jelas MK, adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. Jika perlakuan terhadap manusia (setiap orang) tidak sama dengan perlakuan terhadap pejabat struktural atau pejabat publik, hal itu bukan merupakan perlakuan yang diskriminatif.



Seandainya pun perlakuan tersebut dianggap berbeda, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan hak setiap orang atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Karena, keadilan itu sendiri mempunyai dua makna, yaitu keadilan komutatif, yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa melihat jasa/prestasinya, dan keadilan distributif, yang memberikan kepada setiap orang sesuai dengan jasa/prestasinya.



Keadilan yang diterapkan pada Pasal 40 UU SKN, menurut MK, adalah keadilan distributif. Keadilan dalam makna ini dapat digunakan dalam menentukan syarat yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan tertentu. Syarat-syarat tersebut dapat berupa penentuan batas usia, pendidikan, pengalaman, kesehatan, rangkap jabatan, dan lain-lain.



Lebih lanjut MK berpendapat bahwa pembatasan pejabat struktural dan hak pejabat untuk tidak merangkap menjadi pengurus Komite Olahraga Nasional (KON)--dahulu KONI--sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 UU SKN bukan merupakan pembatasan terhadap hak konstitusional Pemohon. Pembatasan demikian merupakan pilihan kebijakan yang terbuka bagi pembuat undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk menciptakan good governance secara lebih efektif.



Sama juga dengan pembedaan pengaturan rangkap jabatan antara kepengurusan Komite Olahraga Nasional dengan Kepengurusan Induk Organisasi Cabang Olahraga juga merupakan legal policy. Dengan kata lain, hal itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, apakah akan disamakan atau dibedakan. Sebab antara KON dan Induk Organisasi Cabang Olahraga memang ada persamaan tetapi ada juga perbedaan.



Oleh karena itu, MK berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan, dan “ketentuan Pasal 40 UU SKN tidak bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dalam sidang terbuka untuk umum.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=567

Comments

Apa ada larangan juga bagi pengurus harian KONI untuk jadi ketua cabang olahraga di satu kabupaten tertentu
Contoh :
Wakil ketua koni juga menduduki jabatan Ketua Peng-Cab Forki Kota A...

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan