Skip to main content

Nasib PNS

Seorang teman berkata, menjadi pns harus siap ditempatkan dimana saja atau bagian apa saja. kataku, itu menyakitkan. "mengapa demikian?"

Mungkin alasannya, karena pns gajinya dari negara sehingga hrs siap diperlakukan apapun oleh negara (baca=aparatur negara). Mungkin juga karena pns harus punya kemampuan general, dengan kata lain, menjadi pns tidaklah boleh spesialis.

Aku coba bantah. Walau pns digaji dari anggaran negara, tetapi pns juga warga negara yang memiliki hak eksistensi baik pada kemampuan maupun harapan dan keinginannya. Ketika pns direkrut, telah ditetapkan formasi yang dipilihnya. Artinya, telah ada penyesuaian kemampuan dan harapan berdasarkan kehendak bebas. Ketika dilakukan penempatan baru, maka sudah sewajarnya adanya perimbangan kehendak kembali antara pemutus kebijakan penempatan dan pns tersebut ketika terjadi tour of duty atau tour of area.

Sebenarnya terbersit pikiran, apakah kebijakan itu merupakan sisa otoritarian orde sebelumnya yang menuntut kepatuhan mutlak aparatur negara. Mungkin saja.

Alasan kebutuhan pns yang generalis terbantahkan mutatis mutandis dengan penggunaan sistem rekruitmen berdasarkan formasi.

Mengapa butuh pns generalis? Mungkin karena pns diharapkan bisa melakukan apa saja untuk masyarakat. Absurd. Banyak pns yang tidak bisa menyelesaikan masalah modern yang kompleks dan detail, karena kemampuan "standar"nya telah dibentuk general semata.

Dengan kata lain, konsep tour of duty atau tour of area pns tetap harus mempertimbangkan kehendak pns tersebut dan assesment yang tidak otoriter. sehingga profesionalisme tidak hanya merupakan kata-kata manis, melainkan menjadi klise yang sudah sewajarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan