Skip to main content

PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK KEADILAN


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Judul Buku: E-JUSTICE, Using Information Communication Technologies in the Court System
Penulis: Marco Fabri, dkk.
Editor: Agusti Cerrillo I martinez, Pere fabra I Abat
Penerbit: Information Science Reference, Hershey – New York
Tahun Terbit: 2009

Benarlah pernyataan Janedjri M. Gaffar, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi yang dalam berbagai artikel di media massa kerap menegaskan, “konsep keadilan di lembaga peradilan tidak hanya ditentukan oleh putusan hakim, tetapi juga dipengaruhi kinerja administrasi lembaga peradilan”.

Bagaimana tidak, administratur peradilan adalah pihak yang dibolehkan berhubungan langsung dengan pihak yang berperkara, sedangkan hakim kerap dibatasi oleh hukum dan etika bila berinteraksi bahkan dengan masyarakat. Perlakuan seorang administratur terhadap pihak ataupun masyarakat acap kali menentukan bentukan imaji para stake holder atas kinerja pengadilan tersebut.

Untuk mengurangi “keistimewaan” administratur peradilan itulah, maka teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technologies = ICTs) untuk peradilan patut dikembangkan. Buku ini, yang merupakan kumpulan pengalaman penggunaan ICTs diberbagai negara seperti Australia, Belgia, Brasil, Italia, Rusia, Spanyol, dan Amerika sungguh merupakan rujukan utama pengembangan ICTs untuk pengadilan ataupun lembaga lain demi memperluas akses masyarakat terhadap keadilan (acces to justice).

Secara teknis dan terperinci, kegunaan ICTs di pengadilan adalah: sistem peradilan yang efisien (mangkus) karena dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya atas penyebarluasan informasi penting; sistem peradilan yang efektif (sangkil) karena mengurangi prosedur atau birokrasi sehingga dapat mengurangi biaya, baik atas pengunaan alat-alat seperti video conference, software, dll; menambah akses masyarakat atas informasi di pengadilan sehingga mengurangi korupsi atas waktu dan uang yang dilakukan adminisratur peradilan; meningkatkan tranparansi atas proses peradilan sehingga dapat dievaluasi secara publik; meningkatkan kepercayaan publik atas sistem peradilan; dan yang terpenting menguatkan legitimasi kekuasaan kehakiman.

Buku yang merupakan kumpulan tulisan para pakar dan praktisi ini terdiri atas dua bagian. Pertama, mengenai E-Justice dan perubahan administrasi peradilan yang berisi pengaruh ICTs atas budaya dan organisasi/birokrasi administrasi peradilan, termasuk bagaimana organisasi tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas birokrasi. Ada banyak elemen yang dikaji, seperti, perubahan budaya, perubahan organisasi, rencana strategis, privacy, tranparansi, korupsi di sistem peradilan, pengetahuan manajemen, pembuatan kebijakan, dan keamanan, serta manajemen resiko.

Marco Fabri dalam tulisan “The Italian Style of E-Justice in a Comparative Perspective” menyajikan beberapa penemuan dalam penelitian yang sedang berkembang mengenai e-government in judicial administration. Davide Carnevalli dalam tulisan “E-Justice and Policies for Risk management” berusaha menjelaskan mengapa hanya beberapa negara yang menggunakan ICTs dalam operational systems in justice.

Marta Poble, dkk dalam tulisan “Judges as IT Users: The Iuriservice Example” mengungkapkan Iuriservice, sebuah Web-based system yang bertujuan menyediakan fasilitas bagi praktisi hukum, khususnya hakim dalam mengelola aktivitas yudisialnya. Melengkapi bagian ini, James E. Mc. Millan dalam tulisan “The Potential of Computerized Court Case Management to Battle Judicial Corruption” mengungkapkan potensi pengembangan prosedur berbasis IT untuk melawan korupsi dengan mengambil contoh di Bosnia dan Herzegovina. Lebih lanjut, Michael Adler dan Paul Henman menyadari implikasi komputersisasi untuk administrasi berbasis keadilan dalam lingkup keamanan/kemapanan sosial. Karenanya, tulisan “Justice beyond the Courts: The Implications of Computerisation for Administrative Justice in Social Security” layak untuk dikaji.

Menutup bagian pertama, Melissa H. Conley menulis “Online Dispute Resolution” yang berisi penggunaan ICTs untuk penyelesaian perselisihan dengan cara online, khususnya bagi berbagai perselisihan tertentu seperti domain nama untuk laman atau e-commerce.

Bagian Kedua, berisi pengalaman-pengalaman penggunaan E-Jusctice di banyak negera. Tercatat kajian atas penggunaan ICTs di Spanyol oleh Agusti Cerrillo, Italia oleh Francesco Contini dan Antonio Cordella, Brasil oleh Roberto Fragale dan alexandre Veronese, Amerika oleh J. William Holland, Belgia oleh Yves Poullet, Rusia oleh Alexei Trochev, dan Australia oleh Sandra Potter dan Anna Wallace.

Dalam tulisan Anne Wallace berjudul “E-Justice: An Australian Perspective” tercatat beberapa terobosan yang dilakukan pengadilan Australia, seperti penggunaan Case Management, Judgment Publication and Distribution, Litigation Support, Evidence Presentation, Electronic Courtrooms, Knowledge Management, Video-Conferencing, Transcript, Electronic Filing, Electronic Search, dan E-Courts.

Hal yang patut ditiru dalam pengalaman Australia adalah adanya laman http://www.austlii.org. Laman tersebut adalah laman penyedia materi dan informasi hukum secara gratis paling terkenal di Australia yang menyediakan informasi hukum publik (public legal information) yang bersifat primer seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta yang bersifat sekunder seperti jurnal dan kajian-kajian hukum. Laman tersebut dikelola The Australasian Legal Information Institute (AustLII) kerjasama Fakultas Hukum University of Technology Sydney dan Fakultas Hukum University of New South Wales yang mendapat dukungan pemerintah Australia.

Mahkamah Agung Australia (High Court of Australia) telah mempublikasikan resmi putusan (sejak 1903 sampai sekarang) di laman tersebut. Selain itu disediakan pula Special Leave Dispositions (sejak 2008), transkrip persidangan (sejak 1994) and High Court Bulletins (sejak 1996). Demikian juga dengan pengadilan atau tribunal lainnya, dan produk legislasi yang menjadi informasi publik juga wajib ditaruh dalam laman tersebut.

Khusus untuk asia, AustLII mencoba mengembangkan Asian Legal Information Institute (http://www.asianlii.org) yang memuat data hukum gratis (free access legal resources) dari 28 negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Penulis yang mengikuti First AsianLII Conference 2009 – bertema “Building capacity for free access to law in Asia”, di Sydney pada 23-25 Februari 2009 semakin meyakini, akses bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan (access to justice) adalah dengan bebasnya akses bagi instrumen-instrumen hukum (free acces to law).

Apalagi bagi pengadilan yang memang tidak boleh menyediakan nasehat hukum (legal advice), maka pengadilan bertanggung jawab untuk menyediakan informasi hukum yang dapat membantu pencari keadilan menjalani proses pengadilan tersebut. Dengan demikian, publikasi melalui internet mampu memberikan informasi yang tepat dan objektif untuk menghindari tindakan koruptif administratur pengadilan.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan