Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Permohonan Kasdin Simanjuntak, dkk. berupa pengujian Pasal 12 Ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta dinyatakan ditolak. Dalam sidang pengucapan putusan perkara No.023/PUU-IV/2006 (22/12/2006), MK berpendapat bahwa Pasal 12 Ayat (2) UU PUPN tidaklah bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Kasdin, dkk. (berprofesi sebagai advokat) pernah mengajukan proposal penanganan kredit macet kepada salah satu Bank Milik Negara (Bank BUMN) dan mendapat jawaban berupa penolakan dengan alasan pengurusan piutang negara dilarang diserahkan kepada pengacara berdasarkan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN. Karenanya Kasdin, dkk beranggapan telah terjadi pelanggaran hak konstitusional mereka berdasarkan Pasal 28 huruf I Ayat (2) UUD 1945 (hak bebas dari diskriminasi).
Pasal 12 ayat (2) UU PUPN berbunyi: “Dalam hal seperti dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara.” Sedangkan Pasal 12 ayat ayat (1) UU PUPN berbunyi “Instansi-Instansi Pemerintah dan Badan-Badan Negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara”.
Kasdin, dkk. kemudian memberikan pengertian diskriminatif dengan mengutip Pasal 1 Angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”, sehingga didalilkan perlakuan diskriminatif tersebut termasuk dalam status sosial mereka sebagai advokat
Terkait dengan itu, MK berpendapat bahwa dalil Kasdin, dkk. tidak tepat, karena profesi advokat/pengacara bukanlah merupakan status sosial. Perbedaan kewenangan yang diberikan kepada PUPN dengan hak profesi pengacara/advokat tidak dapat dibandingkan dan dijadikan ukuran adanya diskriminasi sebagaimana dimaksud Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 1 Angka 3 UU HAM, karena larangan tersebut berlaku juga kepada semua pihak, tidak hanya di luar advokat/pengacara. (Lwe)
Permohonan Kasdin Simanjuntak, dkk. berupa pengujian Pasal 12 Ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta dinyatakan ditolak. Dalam sidang pengucapan putusan perkara No.023/PUU-IV/2006 (22/12/2006), MK berpendapat bahwa Pasal 12 Ayat (2) UU PUPN tidaklah bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Kasdin, dkk. (berprofesi sebagai advokat) pernah mengajukan proposal penanganan kredit macet kepada salah satu Bank Milik Negara (Bank BUMN) dan mendapat jawaban berupa penolakan dengan alasan pengurusan piutang negara dilarang diserahkan kepada pengacara berdasarkan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN. Karenanya Kasdin, dkk beranggapan telah terjadi pelanggaran hak konstitusional mereka berdasarkan Pasal 28 huruf I Ayat (2) UUD 1945 (hak bebas dari diskriminasi).
Pasal 12 ayat (2) UU PUPN berbunyi: “Dalam hal seperti dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara.” Sedangkan Pasal 12 ayat ayat (1) UU PUPN berbunyi “Instansi-Instansi Pemerintah dan Badan-Badan Negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara”.
Kasdin, dkk. kemudian memberikan pengertian diskriminatif dengan mengutip Pasal 1 Angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”, sehingga didalilkan perlakuan diskriminatif tersebut termasuk dalam status sosial mereka sebagai advokat
Terkait dengan itu, MK berpendapat bahwa dalil Kasdin, dkk. tidak tepat, karena profesi advokat/pengacara bukanlah merupakan status sosial. Perbedaan kewenangan yang diberikan kepada PUPN dengan hak profesi pengacara/advokat tidak dapat dibandingkan dan dijadikan ukuran adanya diskriminasi sebagaimana dimaksud Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 1 Angka 3 UU HAM, karena larangan tersebut berlaku juga kepada semua pihak, tidak hanya di luar advokat/pengacara. (Lwe)
Comments