Skip to main content

PASAL 53 UU KPK TETAP BERKEKUATAN HUKUM MENGIKAT PALING LAMBAT TIGA TAHUN

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan.

Hal itu terkemuka dalam sidang pembacaan puusan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 yang diajukan Mulyana Wirakusumah (Perkara 012/PUU-IV/2006), Nazaruddin Sjamsuddin, dkk. (Perkara 016/PUU-IV/2006) dan Capt.Tarcisius Walla (019/PUU-IV/20060), (19/12/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.

Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Terkait dengan keberadaan Pengadilan Tipikor, Penjelasan Umum UU KPK menyebutkan, “.... Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc...”.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa dengan adanya aturan tersebut terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama. Walau begitu hukum acaranya berbeda dan susunan majelis hakim serta kewajiban memutus dalam jangka waktu tertentu berbeda pula, padahal kedua pengadilan ini menyangkut perbuatan orang yang sama-sama didakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancam pidana oleh undang-undang yang sama, sehingga dapat menghasilkan putusan akhir yang sangat berbeda.

Kenyataan yang terjadi dalam praktek di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini, menurut MK, menunjukkan bukti adanya standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme peradilan yang berbeda. Dilihat dari aspek tersebut, Pasal 53 UU KPK jelas bertentangan dengan UUD 1945.

Terkait dengan pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri yang juga dipersoalkan para pemohon, MK berpendapat, meskipun dari segi teknik perundang-undangan kurang sempurna, namun tidak bertentangan dengan UUD 1945 asalkan norma yang diatur di dalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945.

Berbagai Pertimbangan MK
Walaupun ketentuan Pasal 53 UU KPK telah nyata bertentangan dengan UUD 1945, namun, sebelum menentukan akibat hukum atas kekuatan hukum mengikat Pasal 53 tersebut, MK merasa perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan hukum. Kedua, putusan yang diambil oleh MK jangan sampai menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketiga, putusan MK jangan sampai pula menimbulkan implikasi melemahnya semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat Indonesia. Keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan pengadilan khusus yang diperlukan untuk itu, tidak dapat diselesaikan seketika sehingga dibutuhkan waktu yang cukup.

Apabila Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Menurut MK, hal demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.

“Judicial Wisdom and Craftsmanship”
Untuk menghadapi keadaan demikian, maka sikap kenegarawanan dan kearifan semua pihak, terutama para hakim (judicial wisdom and craftsmanship), sangat dibutuhkan. Karenanya pembatasan akibat hukum dapat dilakukan dengan menangguhkan tidak mengikatnya Pasal 53 UU KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup bagi pembuat undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945. Hal demikian, menurut MK, juga sekaligus dimaksudkan agar pembuat undang-undang secara keseluruhan memperkuat dasar-dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pembuat undang-undang harus sesegera mungkin melakukan penyelarasan UU KPK dengan UUD 1945 dan membentuk undang-undang tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tersebut dapat dihilangkan.

Untuk itu MK berpendapat diperlukanlah jangka waktu paling lama tiga tahun. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. MK juga menyatakan, sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Akibatnya, apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD 1945, khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Putusan ini mendapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki. Laica berpendapat bahwa akibat hukum (rechtsgevolg) putusan MK bermula sejak diucapkan dan keberlakuan suatu norma materi, muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah tidak boleh lagi direntang ulur ke depan.

Respon KPK
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, KPK menyatakan menghormati dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 53 UU KPK. Dalam jumpa pers yang digelar di kantor KPK Jl Veteran III, (22/12/2006) Wakil Ketua KPK Erry Riana mengatakan putusan MK tentang pembentukan pengadilan Tipikor secara tersendiri hingga kini secara yuridis formal tidak mempengaruhi kasus-kasus yang sedang diusut KPK. Erry berharap, sebagaimana dilansir metrotvnews.com, DPR dan pemerintah segera mengagendakan penyusunan undang-undang tentang pembentukan pengadilan Tipikor tersebut. Erry juga meminta agar Mahkamah Agung juga dilibatkan dalam proses penyusunan undang-undang tersebut. KPK juga siap memberikan masukan agar undang-undang tersebut segera disusun.

Senada dengan itu, Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam kesempatan yang sama juga mendesak DPR dan Pemerintah segera mengagendakan penyusunan UU tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Kami berpendapat, penyusunan UU Pengadilan Tipikor adalah prioritas," katanya sebagaimana dilansir media-indonesia.com. (Lwe)

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...