Skip to main content

Gaji Pendidik Masuk Anggaran Pendidikan

Oleh Luthfi Eddyono


KabarIndonesia - Pasal 49 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 24/PUU-V/2007, Rabu (20/2), di Jakarta.

Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)". Berarti, dengan adanya putusan MK tersebut, gaji pendidik, sebagai bagian dari komponen pendidikan, harus dimasukkan dalam penyusunan anggaran pendidikan APBN dan APBD.

Lebih lanjut, menurut MK dalam pertimbangan hukum putusan perkara yang diajukan Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai tersebut, apabila gaji pendidik tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan dalam penyusunan APBN dan APBD dan anggaran pendidikan tersebut kurang dari 20% dalam APBN dan APBD, maka undang-undang dan peraturan yang menyangkut anggaran pendapatan dan belanja dimaksud bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Terlepas dari segala maksud baik yang melatarbelakanginya, MK menyatakan, rumusan makna Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak konsisten dengan rumusan makna Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas, yang berbunyi: “Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” dan Pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas yang berbunyi: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”. Selain itu, rumusan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah mempersempit makna filosofis Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang seharusnya tidak boleh dilakukan, mengingat UUD 1945 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan Negara.

Dengan dimasukkannya komponen gaji pendidik dalam perhitungan anggaran pendidikan, menurut MK, lebih mudah bagi Pemerintah bersama DPR untuk melaksanakan kewajiban memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dalam APBN. Jika komponen gaji pendidik dikeluarkan, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 hanya sebesar 11,8%. Sedangkan dengan memasukkan komponen gaji pendidik, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 dapat mencapai 18%.

Oleh karena itu, dengan adanya Putusan ini, MK menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada alasan untuk menghindar atau menunda-nunda pemenuhan ketentuan anggaran sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD di tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Terkait dengan permohonan lain para Pemohon yaitu pengujian UU APBN Tahun Anggaran 2007, MK berpendapat, UU APBN mempunyai karakter yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya, di antaranya adalah bersifat eenmalig yang berlaku hanya untuk satu tahun dan sudah berakhir. Oleh karena itu, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Terhadap putusan MK perkara No. 24/PUU-V/2007 ini, tiga orang hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan