Oleh Luthfi Eddyono
Untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi undang-undang pemekaran. Perkara tersebut adalah perkara 127/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Maurits Major, dkk atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
Maurits Major, dkk merupakan kepala-kepala suku yang bertempat tinggal di distrik-distrik yang berada di wilayah Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang turut serta memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Tambrauw, melalui musyawarah adat menyetujui bahwa 10 (sepuluh) distrik yang berada di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong akan dijadikan wilayah Kabupaten Tambrauw.
Hasil musyawarah adat tersebut telah disetujui oleh masing-masing Bupati dan DPRD Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari dan selanjutnya disetujui oleh Gubernur serta DPRD Provinsi Papua Barat, bahwa Kabupaten Tambrauw yang akan dibentuk itu terdiri dari 10 (sepuluh) distrik, yaitu 6 (enam) distrik berasal dari Kabupaten Sorong dan 4 (empat) distrik dari Kabupaten Manokwari.
Akan tetapi ketika Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw disahkan, beberapa distrik yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Mubrani, Distrik Senopi dari Kabupaten Manokwari dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong tidak termasuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw.
Menurut MK, dalam Pendapat Hukum Putusan 127/PUU-VII/2009 bertanggal 25 Januari 2010, warga masyarakat adat dari beberapa distrik di Kabupaten Sorong dan beberapa distrik di Kabupaten Manokwari secara konstitusional berhak mendapatkan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dari negara. Oleh karena itu secara konstitusional negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfill) hak-hak konstitusional tersebut dengan menggunakan instrumen yang ada manakala syarat-syarat dan mekanismenya berdasarkan konstitusi maupun peraturan di bawahnya telah terpenuhi. Hak konstitusional warga masyarakat dan kewajiban konstitusional negara secara tegas (expressis verbis) maupun secara penafsiran termuat di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Lebih lanjut MK berpendapat, aspirasi pembentukan Kabupaten Tambrauw, yang merupakan hak konstitusional warga masyarakat adat dari distrik-distrik di kedua kabupaten dimaksud, telah ternyata diajukan dengan memenuhi syarat-syarat dan mekanisme yang secara konstitusional maupun secara hukum (constitutionally and legally) dapat dibenarkan, sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menetapkan cakupan wilayah dari Kabupaten Tambrauw, dan juga sebagai konsekuensinya, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menetapkan batas-batas wilayahnya tidak memasukkan distrik-distrik Amberbaken, Kebar, Senopi, dan Mubrani dari Kabupaten Manokwari, serta Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong.
Dengan demikian, MK menganggap, berdasarkan fakta hukum tersebut, pembentuk Undang-Undang telah mengabaikan aspirasi masyarakat adat dalam menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pengabaian tersebut juga menyebabkan terlanggarnya hak mempertahankan identitas budaya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Karenanya, MK memutuskan Undang-Undang 56/2008 khususnya Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) tentang cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengikutsertakan empat distrik dari Kabupaten Manokwari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kabupaten Tambrauw yaitu masing-masing Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, serta satu distrik dari Kabupaten Sorong yaitu Distrik Moraid.
Putusan MK ini bagaikan sebuah peringatan bagi pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) bahwa hak konstitusional warga masyarakat adat dapat menjadi alasan sebuah undang-undang pemerkaran dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan keputusan masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan (legal policy), khususnya mengenai pemekaran wilayah yang didiami masyarakat adat tersebut.
Untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi undang-undang pemekaran. Perkara tersebut adalah perkara 127/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Maurits Major, dkk atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
Maurits Major, dkk merupakan kepala-kepala suku yang bertempat tinggal di distrik-distrik yang berada di wilayah Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang turut serta memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Tambrauw, melalui musyawarah adat menyetujui bahwa 10 (sepuluh) distrik yang berada di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong akan dijadikan wilayah Kabupaten Tambrauw.
Hasil musyawarah adat tersebut telah disetujui oleh masing-masing Bupati dan DPRD Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari dan selanjutnya disetujui oleh Gubernur serta DPRD Provinsi Papua Barat, bahwa Kabupaten Tambrauw yang akan dibentuk itu terdiri dari 10 (sepuluh) distrik, yaitu 6 (enam) distrik berasal dari Kabupaten Sorong dan 4 (empat) distrik dari Kabupaten Manokwari.
Akan tetapi ketika Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw disahkan, beberapa distrik yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Mubrani, Distrik Senopi dari Kabupaten Manokwari dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong tidak termasuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw.
Menurut MK, dalam Pendapat Hukum Putusan 127/PUU-VII/2009 bertanggal 25 Januari 2010, warga masyarakat adat dari beberapa distrik di Kabupaten Sorong dan beberapa distrik di Kabupaten Manokwari secara konstitusional berhak mendapatkan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dari negara. Oleh karena itu secara konstitusional negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfill) hak-hak konstitusional tersebut dengan menggunakan instrumen yang ada manakala syarat-syarat dan mekanismenya berdasarkan konstitusi maupun peraturan di bawahnya telah terpenuhi. Hak konstitusional warga masyarakat dan kewajiban konstitusional negara secara tegas (expressis verbis) maupun secara penafsiran termuat di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Lebih lanjut MK berpendapat, aspirasi pembentukan Kabupaten Tambrauw, yang merupakan hak konstitusional warga masyarakat adat dari distrik-distrik di kedua kabupaten dimaksud, telah ternyata diajukan dengan memenuhi syarat-syarat dan mekanisme yang secara konstitusional maupun secara hukum (constitutionally and legally) dapat dibenarkan, sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menetapkan cakupan wilayah dari Kabupaten Tambrauw, dan juga sebagai konsekuensinya, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menetapkan batas-batas wilayahnya tidak memasukkan distrik-distrik Amberbaken, Kebar, Senopi, dan Mubrani dari Kabupaten Manokwari, serta Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong.
Dengan demikian, MK menganggap, berdasarkan fakta hukum tersebut, pembentuk Undang-Undang telah mengabaikan aspirasi masyarakat adat dalam menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pengabaian tersebut juga menyebabkan terlanggarnya hak mempertahankan identitas budaya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Karenanya, MK memutuskan Undang-Undang 56/2008 khususnya Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) tentang cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengikutsertakan empat distrik dari Kabupaten Manokwari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kabupaten Tambrauw yaitu masing-masing Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, serta satu distrik dari Kabupaten Sorong yaitu Distrik Moraid.
Putusan MK ini bagaikan sebuah peringatan bagi pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) bahwa hak konstitusional warga masyarakat adat dapat menjadi alasan sebuah undang-undang pemerkaran dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan keputusan masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan (legal policy), khususnya mengenai pemekaran wilayah yang didiami masyarakat adat tersebut.
Comments