Oleh Luthfi Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU TKI) terhadap UUD 1945.
Perkara 028/PUU-IV/2006 dan 029/PUU-IV/2006 yang diajukan Jamilah Tun Sadian dkk. dan Esti Suryani, dkk. ini terkait dengan Pasal 35 huruf (a) UU TKI yang berbunyi: “Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun.”
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan (9/1/2007), Sangap Sidauruk, S.H., kuasa Hukum Esti Suryani, dkk menjelaskan bahwa dengan adanya pembatasan umur sebagaimana diatur undang-undang tersebut, kliennya (berusia antara 19-20 tahun) telah ditolak untuk bekerja di luar negeri. Padahal menurut Sangap hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan/atau Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Lebih lanjut Sangap menjelaskan, pengaturan Pasal 35 huruf (a) UU TKI dengan pertimbangan atau dengan tujuan meminimalisir pelecehan seksual sebagaimana penjelasan Pasal 35 huruf (a) merupakan pertimbangan yang mengesampingkan fakta, diantaranya bahwa pelecehan seksual kepada para TKI yang bekerja di luar negeri sebagian besar justru terjadi pada TKI yang telah berumur di atas 21 tahun, karena oleh pelaku dianggap sudah lebih “matang”.
Terkait dengan hak bekerja, Sangap mengungkapkan keberadaan UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 tentang considering minimum age of admission to employment (mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun.
Pada kesempatan itu panel hakim memberikan beberapa saran dan pertimbangann, seperti yang disampaikan Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. mengenai petitum permohonan yang meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Kalau pasal ini dihilangkan, perlu dipertanyakan apakah kerugian konstitusional itu menjadi bertambah besar atau malah hilang atau tidak ada kerugian konstitusionalnya,” ujar Soedarsono.
Menanggapi hal itu, Sangap kemudian bertanya, “Apakah boleh dimohonkan sebagian dari pasal?” Soedarsono kemudian menjawab bahwa dalam Pasal 51 ayat (3) huruf B UU MK ditentukan yang dapat diuji adalah materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sidang ditutup dengan diberikannya kesempatan perbaikan permohonan maksimal 14 hari kepada para pemohon dan pengesahan alat bukti oleh Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pengujian UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU TKI) terhadap UUD 1945.
Perkara 028/PUU-IV/2006 dan 029/PUU-IV/2006 yang diajukan Jamilah Tun Sadian dkk. dan Esti Suryani, dkk. ini terkait dengan Pasal 35 huruf (a) UU TKI yang berbunyi: “Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun.”
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan (9/1/2007), Sangap Sidauruk, S.H., kuasa Hukum Esti Suryani, dkk menjelaskan bahwa dengan adanya pembatasan umur sebagaimana diatur undang-undang tersebut, kliennya (berusia antara 19-20 tahun) telah ditolak untuk bekerja di luar negeri. Padahal menurut Sangap hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan/atau Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Lebih lanjut Sangap menjelaskan, pengaturan Pasal 35 huruf (a) UU TKI dengan pertimbangan atau dengan tujuan meminimalisir pelecehan seksual sebagaimana penjelasan Pasal 35 huruf (a) merupakan pertimbangan yang mengesampingkan fakta, diantaranya bahwa pelecehan seksual kepada para TKI yang bekerja di luar negeri sebagian besar justru terjadi pada TKI yang telah berumur di atas 21 tahun, karena oleh pelaku dianggap sudah lebih “matang”.
Terkait dengan hak bekerja, Sangap mengungkapkan keberadaan UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 tentang considering minimum age of admission to employment (mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun.
Pada kesempatan itu panel hakim memberikan beberapa saran dan pertimbangann, seperti yang disampaikan Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. mengenai petitum permohonan yang meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Kalau pasal ini dihilangkan, perlu dipertanyakan apakah kerugian konstitusional itu menjadi bertambah besar atau malah hilang atau tidak ada kerugian konstitusionalnya,” ujar Soedarsono.
Menanggapi hal itu, Sangap kemudian bertanya, “Apakah boleh dimohonkan sebagian dari pasal?” Soedarsono kemudian menjawab bahwa dalam Pasal 51 ayat (3) huruf B UU MK ditentukan yang dapat diuji adalah materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sidang ditutup dengan diberikannya kesempatan perbaikan permohonan maksimal 14 hari kepada para pemohon dan pengesahan alat bukti oleh Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
Comments