Oleh Luthfi Eddyono
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan terhadap seseorang tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini semata-mata untuk mengungkap tindak pidana korupsi, karena jika dilakukan dengan model dan cara konvensional, maka untuk mengungkap tindak pidana korupsi dalam rangka mencari bukti awal yang cukup sangatlah sulit dilakukan. Keterangan dari pemerintah tersebut disampaikan Ahmad Ube (Staf ahli Menteri Hukum dan HAM) pada Rabu (11/10) di Ruang Sidang Gedung MK.
Hal ini terkait dengan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak (UU KPK) Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah, Captain Tarcisius Walla, dan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (perkara No. 012/PUU-IV/2006, 016/PUU-IV/2006 dan 019/PUU-IV/2006). Para pemohon tersebut mengajukan pengujian Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 huruf C, Pasal 11 huruf B, Pasal 12 ayat (1) huruf A, Pasal 20, Pasal 40, Pasal 53 dan Pasal 72 UU KPK. Diantaranya mengenai kewenangan KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (Pasal 6 huruf C UU KPK) serta pemberlakuan UU KPK pada tanggal diundangkannya (27 Desember 2002).
”Ketentuan Pasal 72 UU KPK (pemberlakuan UU KPK pada tanggal diundangkannya) justru telah memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Ube membacakan keterangan pemerintah.
Lebih lanjut keterangan pemerintah menyatakan, latar belakang pembentukan KPK didasari kenyataan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan berkembang secara sistematis di segala bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga telah melanggar hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial masyarakat, karena itu tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadikan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga penanganan harus melalui cara-cara yang luar biasa.
”Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan keberadaan KPK dapat menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan, sehingga tidak menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta dapat menimbulkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Jikalau pun kekhawatiran Pemohon itu benar adanya, maka hal tersebut tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang, tetapi berkaitan dengan penerapan norma undang-undang tersebut,” ungkap Ube.
Menanggapi adanya kewenangan KPK untuk menyadap, Dr. Chairul Huda S.H., M.H. menganggap, penyadapan dan merekam pembicaraan adalah suatu tindakan yang dimungkinkan dalam suatu penyidikan suatu tindak pidana. Akan tetapi, menurut Huda, aturan UU KPK ”lucu”, karena kewenangan ini diberikan kepada KPK. ”Padahal mestinya kewenangan seperti ini diberikan kepada penyidik, penyidik KPK,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Lebih lanjut menurutnya, agar penyadapan itu tidak bertentangan dengan due proses of law, maka undang-undang mestinya memberi batasan. Salah satu caranya dengan menggunakan izin pengadilan, karena izin pengadilan yang bisa menjadi batu uji apakah tindakan penyadapannya akan dilakukan itu dapat dilakukan atau tidak. ”Tapi memang sayangnya di dalam UU KPK tidak ditentukan lebih lanjut tentang pembatasan-pembatasan atau ketentuan pelaksanaan berhubungan dengan penyadapan,” jelas ahli dari pemohon ini.
Dr. Mudzakir S.H, M.H. pakar dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menanggapi keberadaan Pasal 11 UU KPK berpendapat bahwa Pasal 11 mengenai kewenangan KPK bersifat fakultatif. Kata-kata berwenang itu artinya KPK bisa menggunakan wewenangnya dan tidak menggunakan wewenangnya. Seandainya KPK menggunakan wewenangnya, berlakulah syarat-syarat huruf A, huruf B dan/atau atau huruf C. ”Jadi dengan demikian KPK kalau ada suatu perkara tindak pidana korupsi, yang perkara itu memenuhi syarat atau kualifikasi huruf A, Pasal 11 huruf B, dan/atau huruf C, itu bisa diselidik dan disidik dan dituntut satu lembaga adalah Polisi, bisa oleh Jaksa dan bisa oleh Timtas Tipikor kalau misalnya itu satu lembaga sendiri dan juga itu bisa oleh KPK,” kata Mudzakir.
Dengan demikian menurut Mudzakir, aturan tersebut mengandung potensi untuk ditafsirkan sedemikian rupa yang menyebabkan hak-hak tersangka, siapapun yang menjadi tersangka itu tidak jelas kapan dia akan diselesaikan oleh lembaga mana. ”Kalau kebetulan itu ditangani oleh KPK, itu hanya faktor nasib yang melakukan itu, tidak lagi berdasarkan rumusan hukum yang tegas,” jelasnya.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan terhadap seseorang tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini semata-mata untuk mengungkap tindak pidana korupsi, karena jika dilakukan dengan model dan cara konvensional, maka untuk mengungkap tindak pidana korupsi dalam rangka mencari bukti awal yang cukup sangatlah sulit dilakukan. Keterangan dari pemerintah tersebut disampaikan Ahmad Ube (Staf ahli Menteri Hukum dan HAM) pada Rabu (11/10) di Ruang Sidang Gedung MK.
Hal ini terkait dengan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak (UU KPK) Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945 yang diajukan Drs. Mulyana Wirakusumah, Captain Tarcisius Walla, dan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (perkara No. 012/PUU-IV/2006, 016/PUU-IV/2006 dan 019/PUU-IV/2006). Para pemohon tersebut mengajukan pengujian Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 huruf C, Pasal 11 huruf B, Pasal 12 ayat (1) huruf A, Pasal 20, Pasal 40, Pasal 53 dan Pasal 72 UU KPK. Diantaranya mengenai kewenangan KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (Pasal 6 huruf C UU KPK) serta pemberlakuan UU KPK pada tanggal diundangkannya (27 Desember 2002).
”Ketentuan Pasal 72 UU KPK (pemberlakuan UU KPK pada tanggal diundangkannya) justru telah memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Ube membacakan keterangan pemerintah.
Lebih lanjut keterangan pemerintah menyatakan, latar belakang pembentukan KPK didasari kenyataan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan berkembang secara sistematis di segala bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga telah melanggar hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial masyarakat, karena itu tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadikan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga penanganan harus melalui cara-cara yang luar biasa.
”Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan keberadaan KPK dapat menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan, sehingga tidak menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta dapat menimbulkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Jikalau pun kekhawatiran Pemohon itu benar adanya, maka hal tersebut tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang, tetapi berkaitan dengan penerapan norma undang-undang tersebut,” ungkap Ube.
Menanggapi adanya kewenangan KPK untuk menyadap, Dr. Chairul Huda S.H., M.H. menganggap, penyadapan dan merekam pembicaraan adalah suatu tindakan yang dimungkinkan dalam suatu penyidikan suatu tindak pidana. Akan tetapi, menurut Huda, aturan UU KPK ”lucu”, karena kewenangan ini diberikan kepada KPK. ”Padahal mestinya kewenangan seperti ini diberikan kepada penyidik, penyidik KPK,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Lebih lanjut menurutnya, agar penyadapan itu tidak bertentangan dengan due proses of law, maka undang-undang mestinya memberi batasan. Salah satu caranya dengan menggunakan izin pengadilan, karena izin pengadilan yang bisa menjadi batu uji apakah tindakan penyadapannya akan dilakukan itu dapat dilakukan atau tidak. ”Tapi memang sayangnya di dalam UU KPK tidak ditentukan lebih lanjut tentang pembatasan-pembatasan atau ketentuan pelaksanaan berhubungan dengan penyadapan,” jelas ahli dari pemohon ini.
Dr. Mudzakir S.H, M.H. pakar dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menanggapi keberadaan Pasal 11 UU KPK berpendapat bahwa Pasal 11 mengenai kewenangan KPK bersifat fakultatif. Kata-kata berwenang itu artinya KPK bisa menggunakan wewenangnya dan tidak menggunakan wewenangnya. Seandainya KPK menggunakan wewenangnya, berlakulah syarat-syarat huruf A, huruf B dan/atau atau huruf C. ”Jadi dengan demikian KPK kalau ada suatu perkara tindak pidana korupsi, yang perkara itu memenuhi syarat atau kualifikasi huruf A, Pasal 11 huruf B, dan/atau huruf C, itu bisa diselidik dan disidik dan dituntut satu lembaga adalah Polisi, bisa oleh Jaksa dan bisa oleh Timtas Tipikor kalau misalnya itu satu lembaga sendiri dan juga itu bisa oleh KPK,” kata Mudzakir.
Dengan demikian menurut Mudzakir, aturan tersebut mengandung potensi untuk ditafsirkan sedemikian rupa yang menyebabkan hak-hak tersangka, siapapun yang menjadi tersangka itu tidak jelas kapan dia akan diselesaikan oleh lembaga mana. ”Kalau kebetulan itu ditangani oleh KPK, itu hanya faktor nasib yang melakukan itu, tidak lagi berdasarkan rumusan hukum yang tegas,” jelasnya.
Comments