Oleh Luthfi Eddyono
Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mengatur mengenai syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu “belum pernah menjabat kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan perkara 8/PUU-VI/2008, Selasa, (6/5) di ruang sidang MK.
“Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidaklah beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,” ucap Ketua MK, Jimly Asshidiiqie, dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pemohon yang dimaksud adalah Said Saggaf, Bupati Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dirugikan karena Pasal 58 huruf o UU pemda. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menerbitkan surat bertanggal 25 September 2007 Nomor 725/15/IX/2007 yang menegaskan bahwa Said Saggaf pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng periode tahun 1993 s.d. 1998 dan sekarang menjadi Bupati Mamasa periode tahun 2003 s.d. 2008 sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah Bupati Mamasa periode tahun 2008 s.d 2013.
Hal tersebut didasarkan pula pada Pasal 58 huruf o UU Pemda dan Surat dari Departemen Dalam Negeri bertanggal 5 September 2007 Nomor 100/1680/OTDA yang intinya menyatakan bahwa Said Saggaf tidak dapat lagi dicalonkan menjadi Bupati Mamasa karena sudah pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng.
T
erkait dengan hal itu, menurut MK, Pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Pemda, khususnya huruf o, dapat saja dilakukan sepanjang hal tersebut ditetapkan dengan undang-undang berlaku terhadap semua orang tanpa pembedaan, sehingga tidak dapat dipandang sebagai diskriminatif.
“Jikapun Pemohon merasa menderita kerugian akibat adanya Surat KPU Pusat dan Surat Mendagri sebagaimana yang didalilkan dalam permohonan a quo, maka forum penyelesaiannya bukan di Mahkamah Konstitusi, melainkan di peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan” ucap Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya membacakan Pertimbangan Hukum MK.
Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mengatur mengenai syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu “belum pernah menjabat kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan perkara 8/PUU-VI/2008, Selasa, (6/5) di ruang sidang MK.
“Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidaklah beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,” ucap Ketua MK, Jimly Asshidiiqie, dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pemohon yang dimaksud adalah Said Saggaf, Bupati Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dirugikan karena Pasal 58 huruf o UU pemda. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menerbitkan surat bertanggal 25 September 2007 Nomor 725/15/IX/2007 yang menegaskan bahwa Said Saggaf pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng periode tahun 1993 s.d. 1998 dan sekarang menjadi Bupati Mamasa periode tahun 2003 s.d. 2008 sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah Bupati Mamasa periode tahun 2008 s.d 2013.
Hal tersebut didasarkan pula pada Pasal 58 huruf o UU Pemda dan Surat dari Departemen Dalam Negeri bertanggal 5 September 2007 Nomor 100/1680/OTDA yang intinya menyatakan bahwa Said Saggaf tidak dapat lagi dicalonkan menjadi Bupati Mamasa karena sudah pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng.
T
erkait dengan hal itu, menurut MK, Pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Pemda, khususnya huruf o, dapat saja dilakukan sepanjang hal tersebut ditetapkan dengan undang-undang berlaku terhadap semua orang tanpa pembedaan, sehingga tidak dapat dipandang sebagai diskriminatif.
“Jikapun Pemohon merasa menderita kerugian akibat adanya Surat KPU Pusat dan Surat Mendagri sebagaimana yang didalilkan dalam permohonan a quo, maka forum penyelesaiannya bukan di Mahkamah Konstitusi, melainkan di peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan” ucap Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya membacakan Pertimbangan Hukum MK.
Comments