Skip to main content

PUTUSAN PEMILUKADA JATIM: MK KABULKAN PERMOHONAN SEBAGIAN

Oleh Luthfi Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan harus dilakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Jawa Timur (Jatim) Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam waktu paling lambat 60 hari dan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan dalam waktu paling lambat 30 hari. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 41/PHPU.D-VI/2008, Selasa (2/12/2008), di Ruang Sidang Pleno MK.

Putusan itu didasarkan adanya fakta hukum di persidangan bahwa pada kabupaten tertentu di Provinsi Jatim nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius Pemilukada yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran tersebut bukan hanya terjadi selama pencoblosan, sehingga permasalahan yang terjadi harus dirunut dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum
pencoblosan.

Terkait dengan amar putusan tersebut, menurut MK, sekalipun dalam posita dan dalam petitum permohonan Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono (Pasangan Calon Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran II yang berkeberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II) hanya secara umum meminta untuk menyatakan Hasil Penghitungan Suara yang dilakukan Termohon (KPU Jatim) dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran II batal. Akan tetapi, Khofifah-Mudjiono juga memohon Mahkamah untuk memutus ex aequo et bono yang diartikan sebagai permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya apabila hakim mempunyai pendapat lain daripada yang diminta dalam petitum.

MK pun mengutip pendapat G. Radbruch yang menyatakan"Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enactment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare, unless, the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule becomes in effect "lawlesslaw" and must therefore yield to justice." [G. Radbruch, Rechtsphilosophie (4th ed. page 353. Fuller s translation of formula in Journal of Legal Education (page 181)].

Pertimbangan MK, karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena fakta-fakta hukum telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Terdapat pula satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria). "Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum," ucap Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.

Sehingga, MK memandang perlu menciptakan terobosan hukum guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran yang sistematis, terstruktur, dan masif. "Jikalau pengadilan hanya membatasi diri pada penghitungan ulang hasil yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sangat mungkin tidak akan pernah terwujud keadilan untuk penyelesaian sengketa hasil Pemilukada yang diadili karena kemungkinan besar terjadi hasil Ketetapan KPU lahir dari proses yang melanggar prosedur hukum dan keadilan," jelas Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.

Karena terjadi pelanggaran serius yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif tersebut, maka, menurut MK, diperlukan upaya perbaikan melalui putusannya yakni pembatalan seluruh hasil pemungutan suara di wilayah-wilayah tertentu dan mengeluarkannya dari hasil penghitungan total. Jika MK hanya memutus hasil pemungutan
suara di daerah-daerah tertentu tersebut dikeluarkan (tidak diikutkan) dari penghitungan akhir, akibatnya akan terjadi ketidakadilan, karena hal itu berarti suara rakyat di daerah-daerah tersebut sebagai bagian dari pemegang kedaulatan berakibat terbuang/hilang.

"Oleh sebab itu, demi tegaknya demokrasi yang berkeadilan dan berdasar hukum, Mahkamah berpendapat, yang harus dilakukan adalah melakukan pemungutan suara ulang untuk daerah atau bagian daerah tertentu dan melakukan penghitungan suara ulang untuk daerah tertentu lainnya" tegas Maruarar.

Dalam menentukan daerah mana yang akan melakukan pemungutan suara ulang dan daerah mana yang hanya melakukan penghitungan suara ulang, MK pun mendasarkan pada tingkat intensitas dan bobot pelanggaran yang terjadi di wilayah pemilihan tersebut. Hasilnya, Kabupaten Bangkalan Kabupaten Sampang ditetapkan agar dilakukan pemungutan suara ulang, sedangkan Kabupaten Pamekasan agar dilakukan penghitungan suara ulang dengan metode dan pencatatan yang didasarkan pada formulir yang ditetapkan KPU dan terbuka bagi masing-masing Pasangan Calon.

"Manfaat yang dapat diperoleh dari putusan yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada umumnya dan Pemilukada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius, terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah yang demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia," ujar Ketua MK, Moh. Mahfud MD.

Untuk itu, MK juga memerintahkan KPU dan Bawaslu untuk mengawasi pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang sesuai dengan kewenangannya dan sesuai dengan semangat untuk melaksanakan Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan