Skip to main content

Setiap Orang Dianggap Tahu Hukum

Oleh Luthfi Eddyono

Di Indonesia, setiap orang tanpa terkecuali dianggap mengetahui semua hukum/undang-undang yang berlaku dan apabila melanggarnya, akan dituntut dan dihukum berdasarkan undang-undang/hukum yang berlaku tersebut. Hal ini didasarkan pada teori fiktie yang menyatakan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen). Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum (ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man).

Menurut H.A.S. Natabaya dalam buku Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, paradigma dan doktrin berpikir yang melandaskan teori fiktie lazim dalam negara yang menganut sistem civil law (Indonesia termasuk yang menganutnya sebagai peninggalan Belanda). Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Alasan lain adalah undang-undang dibuat oleh rakyat (melalui wakil-wakilnya di parlemen dan pemerintah), sehingga sudah sewajarnya bila rakyat dianggap telah mengetahui hukum/undang-undang.

Teori fiktie memang bersifat fiktie (fiksi) atau khayalan saja, demikian yang disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Hal ini dikarenakan teori tersebut tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Menurut Jimly, untuk lingkungan negara-negara maju dan kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Akan tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya dan banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang kondisi kesejahteraan dan pendidikannya (seperti Indonesia), sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Dengan kata lain, adagium tersebut tidaklah adil bagi kebanyakan warga negara Indonesia yang kurang mendapat informasi.

J.C.T Simorangkir dalam buku Hukum dan Konstitusi Indonesia menarasikan “rasa kurang adil tersebut” dengan sangat baik. Kalau seorang anggota DPR yang bersama Pemerintah membentuk undang-undang, lalu ia sendiri melanggar undang-undang itu sehingga dihukum, maka rasa-rasanya penghukuman itu tidaklah terlalu mengganggu rasa keadilan. Akan tetapi bila ada seorang petani yang bertempat tinggal jauh di pelosok tanah air, tidak punya radio, tidak menonton televisi, tidak berlangganan koran, sebab masih buta huruf, lalu tanpa disadarinya ia melanggar undang-undang yang tidak pernah ia dengar/baca/tahu kemudian ia dituntut dan dihukum, maka kondisi ini terasa tidak adil.

Walau begitu, menurut Simorangkir, adagium yang menyatakan setiap orang dianggap tahu hukum harus tetap dipertahankan. Jika adagium itu tidak ada, maka kita akan menghadapi suatu situasi hukum yang justru tidak dikehendaki. Sebagai ilustrasi, kita bayangkan bila ada seorang tersangka yang mengaku di depan hakim bahwa dirinya tidak mengetahui hukum dan dirinya kemudian dibebaskan, maka setiap tersangka manapun bisa menggunakan alasan tersebut.

Karenanya dibutuhkan kompensasi terhadap rasa tidak adil akibat penerapan teori fiktie. Salah satunya menurut Simorangkir adalah sistem “hukuman maksimal” dalam hukum pidana kita. Sistem tersebut memberikan keleluasaan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang maksimal atau memberikan hukuman yang paling ringan sampai pada pembebasan. Sehingga seseorang yang dengan sadar serta tahu, bila melanggar suatu peraturan dapatlah dihukum lebih berat daripada seseorang yang melanggarnya tanpa mengetahui serta menyadari apa yang dilanggarnya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Sebagai contoh, tidak cukuplah para administrator hukum memasyarakatkan hukum/peraturan perundang-undangan dengan hanya menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah secara formal (publication of law). Seharusnya semua pihak merasa terikat akan tanggung jawab yang lebih luas untuk menyebarluaskan dan memasyarakatkan aturan-aturan ke seluruh lapisan masyarakat (promulgation of law).

Mengikuti perkembangan Zaman, saat ini perlu diterapkan pengelolaan informasi hukum (law information management) berbasis teknologi informasi. Salah satunya adalah dengan menggunakan website (laman), sehingga setiap orang, kapanpun, di manapun, dapat menemukan berbagai informasi hukum dengan segera dan murah. Sehingga setiap orang benar-benar tahu hukum.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan