Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (UU Kehutanan) bertentangan dengan UUD 1945. Hal demikian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sidang Pleno 21/2/2012.
Menurut MK, pengertian dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan hanya menyebutkan bahwa, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan.
Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan selengkapya berbunyi, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan tersebut, penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sementara itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan.
MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, frasa ‘ditunjuk dan atau’ tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo.
Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (UU Kehutanan) bertentangan dengan UUD 1945. Hal demikian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sidang Pleno 21/2/2012.
Menurut MK, pengertian dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan hanya menyebutkan bahwa, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan.
Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan selengkapya berbunyi, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan tersebut, penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sementara itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan.
MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, frasa ‘ditunjuk dan atau’ tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo.
Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Comments